Kabut Keadilan

keadilan itu datangnya dari diri sendiri

“Aku telah gagal.”

Perempuan yang baru saja mengeluarkan perkataan itu, langung membenamkan wajah di sela-sela ruas jarinya. Dia menangis sesenggukan, sambil sesekali menyalahkan dirinya sendiri mengenai apa yang terjadi. Dari gerak-geriknya saja, aku dapat melihat bahwa dia sedang frustrasi terhadap keadaan yang menghimpitnya kini.

Hatiku turut bergetar melihat keadaannya. Tertawaan dan senyum riang yang biasanya menghiasi wajah cantiknya, berubah menjadi tatapan penuh luka yang tidak aku ketahui disebabkan oleh apa. Keberadaanku di sini pun hanya untuk menemani dirinya yang sedang membutuhkan teman ngobrol dan sama sekali tidak aku tahu bahwa dia sedang dalam keadaan kalut.

Ada apa dengannya? Kira-kira begitulah seruan yang muncul di kepalaku, kala melihat raut frustrasinya.

“Aku telah kehilangan semuanya, mereka meninggalkanku begitu saja tanpa aku ketahui apa salahku sebenarnya,” ucapnya lagi, sedikit memperjelas ucapan sebelumnya.

Alea--gadis yang kini ada di hadapanku--mulai mendongakkan kepala, seolah berusaha menahan air mata yang lebih deras menghujani pipinya. Aku makin tak kuasa melihat keadaannya itu. Dia adalah teman dekatku, orang yang telah menemaniku selama empat tahun belakangan ini dan sering menjadi sumber semangat ketika aku terpuruk. Alea yang kutahu adalah sosok yang ceria dan penuh semangat. Jangankan menangis, menunjukkan kemurungannya saja dia tidak pernah.

“Menurutmu, apakah aku bukan teman yang baik? Apa aku layak untuk ditinggalkan dan diperlakukan seperti ini? Katanya, aku ini terlalu banyak berbicara dan berpikir. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan dampak dari ucapanku. Jadi, apa karena itu aku berhak menerima semua ini?”

Kepalaku menggeleng lemah. Meski aku tidak benar-benar tahu persoalan apa yang sedang dihadapinya, tetapi tidak seharusnya dia menerima luka yang seperti ini. Selama berteman dengannya, Alea adalah teman yang baik. Dia merupakan sosok yang dapat menjadi pemantik semangatku. Meski beberapa kali kami berselisih pendapat, tetapi selalu saja Alea yang pertama kali mendatangiku dan meminta maaf jika ucapannya telah menyinggung perasaanku.

Sikapnya yang rela mengalah demi keberlangsungan persahabatan ini, membuatku merasa bahwa termasuk sosok yang luar biasa. Mungkin dia terlalu sensitif mengenai perasaannya. Akan tetapi, atas kesensitifannya itu, dia selalu mampu memperbaiki sesuatu yang retak. Dan melihat bagaimana dirinya terlihat frustrasi, aku rasa gadis itu sudah berada di ambang batas. 

Aku mulai mengambil tindakan dengan menggenggam erat tangannya, menunjukkan bahwa ada aku di sini bersamanya. Kutatap matanya lekat-lekat, menyatukan perasaan kami melalui tatapan mata itu. Setelah dia terlihat tenang, aku berkata kepadanya, “Jangan pernah menyalahkan dirimu atas hal-hal yang berada di luar kendalimu. Beberapa hal yang terjadi di hidup ini memang tidak mampu kita kendalikan, jadi biarkanlah semua berjalan sebagaimana mestinya. Jika kamu merasa salah, minta maafkanlah dan hargai keputusannya. Sesekali kamu juga harus membiarkan hatimu bernapas, Alea. Stop terlalu memikirkan orang lain karena itu hanya akan membuatmu merasa bahwa kisahmu tidak sempurna.”

“Tapi, mengapa bisa hal ini terjadi? Anya, kamu tahu sendiri kalau aku selalu menjaga tutur kataku dan tidak ingin mencampuri urusan orang lain, bukan? Aku selalu mencoba untuk menghargai pikiran dan perasaan orang lain. Jangankan memberi kritik kepada mereka, ketika mereka bahwa mereka sudah menyakiti hatiku pun aku tidak mengatakannya secara langsung. Apa itu tidak cukup?” ucapnya yang terlihat berusaha keras menahan sesak di dadanya.

Aku memajukan sedikit tubuhku, kutatap matanya dengan tajam. “Lalu, bagaimana dengan dirimu sendiri? Sudahkah kamu melakukan hal yang kamu lakukan pada orang lain kepada dirimu sendiri? Sudahkah kamu memberikan keadilan kepada tubuh yang telah menemanimu selama dua puluh satu tahun itu?”

Alea terdiam. Dari sayup-sayup matanya, kulihat bahwa dia sedang memikirkan ucapanku dengan begitu dalam. Sesaat setelah itu, dia menggeleng lemah.

“Alea, aku tahu bahwa kamu telah berusaha keras menciptakan keadilan untuk orang lain. Bahkan menurutku, kamu terlewat menghargai mereka. Aku tahu kok kalau kamu selalu menghargai perasaan orang lain, peka terhadap situasi, memberikan tanggapan yang baik, bertutur kata lembut dan penuh kehati-hatian, serta rela meminta maaf jika merasa salah. Namun, jangan lupa bahwa dirimu juga butuh diperlakukan dengan seistimewa itu,” kataku kepadanya. Bukan bermaksud menunjukkan bahwa caranya selama ini salah, tetapi aku ingin menyadarkannya bahwa ada hal yang harus diprioritaskan dibanding perasaan orang lain, yaitu hak diri sendiri untuk dihargai dan didengar sisi lelahnya.

“Apa maksudnya aku tidak menyayangi diriku sendiri?” tanyanya sedikit parau

“Sayangnya, aku tidak ingin membahas tentang itu,” jawabku sekenanya. “Cobalah kamu tanya ke dirimu sendiri, kapan terakhir kali kamu mengejar sesuatu yang tak pasti? Kapan kamu mencoba menerima segala rasa sakit dan tidak selalu berseru bahwa kamu baik-baik saja? Kapan kamu berhenti menjadi cahaya untuk orang lain dan membiarkan dirimu menemukan cahayamu sendiri? Aku yakin, sudah banyak paksaan yang kamu berikan kepada dirimu, sehingga kamu bisa sebegini lelahnya.”

Lagi-lagi mulut Alea terkunci. Kepalanya mulai ditundukkan, gadis itu kembali menangis. “Kamu benar, aku tidak pernah menghargai perasaanku sendiri. Aku selalu berkata bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari kecerobohanku. Oleh karena itu, aku selalu berpikir bahwa aku yang harus bertanggungjawab atas kekacauan yang sudah aku perbuat dengan cara menyatukan kepingan yang telah retak. Kadang aku memang sangat lelah, bertanya kepada Tuhan kapan sakit ini akan berakhir. Hati ini sering kali menjerit, memekik lelah atas apa yang yang harus aku hadapi. Aku pikir aku telah gagal mempertahankan sesuatu yang aku anggap penting. Namun, sepertinya aku lebih gagal dalam membimbing diriku dalam menggapai kebahagiaan, ya?”

Aku menggeleng. Tidak, bukan ini yang aku maksudkan.

“Jangan pernah menyalahkan dirimu atas keputusan orang lain. Tindakan orang lain bukan bagian dari kontrol kita, bahkan kita juga tidak tahu apa yang terjadi lima menit ke depan. Jadi, daripada memikirkan bagaimana caranya memenangkan masalahmu, lebih baik kamu kenali dirimu dahulu dan turuti apa yang dirimu inginkan sebenarnya. Menyatulah dengannya, beri keadilan yang sebaik-baiknya kepadanya. Hal itu akan membuat perasaanmu jauh lebih baik dan jalan akan penyelesaian masalahmu akan terbuka sendiri,” ungkapku kepadanya. “Kamu mengerti ‘kan maksudku?”

Alea mengangguk paham. “Iya, aku mengerti." Kemudian dia menarik panjang napasnya, pandangan matanya mulai dialihkan pada sisi lain tempat ini. "Aku juga sudah memiliki rencana terhadap apa yang seharusnya aku lakukan. Mungkin aku akan mengambil waktu untuk memulihkan hati. Aku akan melakukan beberapa hal yang aku senangi dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mampu membangkitkan luka. Aku janji, aku hanya akan mempertahankan hal-hal yang patut dipertahankan.”

Senyum penuh kelegaan pun keluar dari wajahku. Kutatap haru pada Alea yang sudah sedikit semangat, menyelipkan binar kebahagiaan karena dia dapat menangkap dengan baik maksud dari perkataanku.

“Bagus! Nikmati waktumu, Teman. Aku akan menunggumu kembali dengan membawa energi yang baru, ketika kamu sudah dapat memberikan keadilan kepada dirimu sendiri.”

Tawa langsung mengudara, menghiasi siang yang sejak tadi didominasi dengan pembicaraan antara diriku dan Alea. Kini aku melihat gadis itu sudah tampak lebih baik, meski dari matanya masih kulihat ada binar kesedihan. Tak apa, aku akan menunggu dia menyembuhkan lukanya karena proses penyembuhan luka memang memakan waktu yang relatif lama.

Sebenarnya apa yang Alea alami ini juga menjadi pelajaran untukku. Pelajaran bahwa tidak seharusnya terlalu memikirkan orang lain, sampai lupa untuk menghargai diri sendiri. Dan bukan berarti karena aku memberikan saran kepadanya, aku sudah pandai dalam menghargai diriku sendiri. Aku hanya berusaha netral, sembari mencoba untuk mempraktikkan apa yang aku ucapkan kepada orang lain agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik. 

Fela Khoirul
Seorang gadis penuh teka-teki yang sedang berusaha menjadi lebih baik, melalui tulisannya. Memiliki ketertarikan pada skincare, mental health, dan relationship.

Related Posts

Posting Komentar