Bagaimana jika kalian berada di tempat yang luas, dengan
hanya satu pemandangan yang dapat kalian lihat, yakni sebuah jurang. Apa yang
akan kalian lakukan? Sedangkan saat ini hati kalian sangat mati.
Permintaan pertemanan belum tersepakati dengan benar, tetapi
Imelda sudah berperilaku selayaknya teman yang baik untuk Sandi. Dia mengajak Sandi
pergi ke sebuah tempat, sebagai cara pertama untuk mengobati kepiluan hati Sandi.
Jangan tanya mengapa, karena yang namanya teman, pastilah tidak memiliki alasan
untuk berbuat baik kepada temannya.
“Aku akan berikan dua pilihan untukmu, yakni terjun dari
atas sini atau bertahan dengan melihat banyak orang-orang kesakitan. Tapi, jangan
dulu diputuskan, sebelum aku selesai memberitahu teorinya,” kata Imelda sambil bangkit dari posisinya.
Imelda mulai merentangkan tangannya, merasakan gerakan angin
yang nyaris menerbangkan tubuhnya. Meski angin sedang ingin mendorongnya untuk
jatuh ke jurang, tetapi Imelda tetap bertahan dalam posisinya dan tidak sedikit
pun berpikir untuk berganti gerakan. Dia menikmati setiap embusan angin,
sebagaimana dirinya menikmati hidupnya selama ini.
“Ketika aku memejamkan mata dan merentangkan tangan seperti
ini, pasti dengan cepat aku dapat terjun ke bawah. Ini tempat yang sangat sepi,
aksiku tentu tidak dapat digagalkan oleh orang lain. Bahkan saking sepinya,
mayatku akan membusuk di bawah sana. Tapi, sayangnya, aku memiliki banyak mimpi
indah sebelum hidupku berakhir. Hidup terlalu indah sayang untuk diakhiri
dengan cuma-cuma karena akhirat adalah tempat yang jauh dari pembayangan. Mimpiku
selama ini satu, menjadi orang berguna bagi orang lain dan berhasil membuat banyak
orang ikut merasa kehilangan dan mengenang kepergianku.”
Imelda selesai merentangkan tangannya dan beralih menarik
tangan Sandi untuk bangkit bersamanya. Sandi menatap Imelda dengan kikuk,
tetapi Imelda tidak peduli. Akhirnya mereka sama-sama berdiri, menghadap lurus ke
sebuah jurang.
“Lihatlah jurang itu, sangat dalam dan mampu membinasakan. Sedangkan
pemandangan di belakang, seluruhnya dihiasi dengan rumah-rumah penduduk yang sangat
rapat dan mungkin … kumuh. Yang perlu kamu pahami, mengakhiri hidup itu. Tapi,
coba lihat pada bagian belakang, betapa berantakannya hidup orang lain yang
tidak pernah kita ketahui. Mungkin kamu merasa tersiksa dengan kehilangan
Hannah, mungkin juga berpikir bahwa menyusulnya adalah yang terbaik. Namun,
ketahuilah, banyak luka yang menjerit lebih parah dari lukamu. Saranku,
daripada larut dalam kesedihan, lakukanlah hal berguna untukmu dan untuk orang
lain.” Imelda menepuk-nepuk punggung Sandi setelah mengatakan itu.
Sandi diam sambil mencerna kalimat Imelda.
“Sepertinya kamu salah paham, aku tidak berpikir untuk
mengakhiri hidupku setelah kematian Hannah,” ucap Sandi kepada Imelda.
Imelda terkekeh. “Mungkin belum, atau kamu sedang
mengelaknya,” kata gadis itu. “Dari caramu memikirkan penyebab-penyebab buruk
dari kematian Hannah, serta memelukku seolah aku ini adalah Hannah. Sudah
menggambarkan betapa kamu kehilangannya. Belum lagi perkataanmu ketika sedang
memelukku, jelas sekali ada luka yang kamu simpan. Jangan sok kuat, Sandi. Aku tahu
kamu rapuh. Kehilangan juga bukan hal sepele, bahkan cukup mematikan. Hanya orang-orang
yang pernah kehilanganlah yang tahu bagaimana rasanya.”
Sandi tidak percaya akan mendapat hal ini dari orang yang
belum genap sehari ditemuinya. Setelah kepergian Hannah, Sandi memang merasa
kosong. Pekerjaannya pun terbengkalai, seperti kehilangan fokus. Orang sekeliling
bukannya menguatkan , malah menjauhi Sandi yang menurut mereka sedang dalam
keadaan yang tidak stabil.
Meski Sandi tidak pernah memberitahu bahwa dirinya
membutuhkan penguat. Namun, sebenarnya jiwanya yang membutuhkan dorongan untuk
kembali bangkit.
“Kenapa, ya, baru sekarang?” kata Sandi sambil menoleh
sedikit ke Imelda.
Dahi Imelda mengernyit. “Maksudnya?”
“Kenapa baru sekarang aku bertemu wanita yang mampu membuka
wawasanku dan memahami cara memperlakukan seseorang yang nyaris gila karena
kehilangan seseorang yang sangat dicintainya.”
Imelda hanya dapat menggelengkan kepalanya. Kemudian dia
mendekatkan mulutnya ke telinga Sandi dan berkata, “Itu karena aku terlalu
berharga jiika harus muncul cepat dalam hidup semua orang, sesekali orang
tersebut harus mati rasa dulu untuk aku kuatkan. Begitulah teorinya.”
Kali ini Sandi yang terkekeh. Imelda senang melihat Sandi
tersenyum seperti ini karena sebelumnya Sandi tidak lebih dari laki-laki kaku
yang kehilangan arah hidup.
“Kamu terlihat lebih hidup dengan senyuman itu, terus
lanjutkan, ya. Meski nanti sudah tidak ada lagi orang yang menguatkanmu,
seperti yang aku lakukan ini.”
Seketika atmosfer bahagia Sandi berubah karena perkataan
terakhir Imelda.
Bersambung ...
Bersambung ...
Hmm.. untung ketemu Imelda😍
BalasHapusImelda, Cie cie
BalasHapusKenapa jadi agak mewek haru gini ya
BalasHapusSuka... ceritanya...makna dan amanahnya ceritanya dalam, nggak sabar nunggu kelanjutannya
BalasHapusIkut bayangin haha
BalasHapus