Evanescent - Episode Tiga

5 komentar

Bagaimana jika kalian berada di tempat yang luas, dengan hanya satu pemandangan yang dapat kalian lihat, yakni sebuah jurang. Apa yang akan kalian lakukan? Sedangkan saat ini hati kalian sangat mati.

Permintaan pertemanan belum tersepakati dengan benar, tetapi Imelda sudah berperilaku selayaknya teman yang baik untuk Sandi. Dia mengajak Sandi pergi ke sebuah tempat, sebagai cara pertama untuk mengobati kepiluan hati Sandi. Jangan tanya mengapa, karena yang namanya teman, pastilah tidak memiliki alasan untuk berbuat baik kepada temannya.

“Aku akan berikan dua pilihan untukmu, yakni terjun dari atas sini atau bertahan dengan melihat banyak orang-orang kesakitan. Tapi, jangan dulu diputuskan, sebelum aku selesai memberitahu teorinya,” kata Imelda  sambil bangkit dari posisinya.

Imelda mulai merentangkan tangannya, merasakan gerakan angin yang nyaris menerbangkan tubuhnya. Meski angin sedang ingin mendorongnya untuk jatuh ke jurang, tetapi Imelda tetap bertahan dalam posisinya dan tidak sedikit pun berpikir untuk berganti gerakan. Dia menikmati setiap embusan angin, sebagaimana dirinya menikmati hidupnya selama ini.

“Ketika aku memejamkan mata dan merentangkan tangan seperti ini, pasti dengan cepat aku dapat terjun ke bawah. Ini tempat yang sangat sepi, aksiku tentu tidak dapat digagalkan oleh orang lain. Bahkan saking sepinya, mayatku akan membusuk di bawah sana. Tapi, sayangnya, aku memiliki banyak mimpi indah sebelum hidupku berakhir. Hidup terlalu indah sayang untuk diakhiri dengan cuma-cuma karena akhirat adalah tempat yang jauh dari pembayangan. Mimpiku selama ini satu, menjadi orang berguna bagi orang lain dan berhasil membuat banyak orang ikut merasa kehilangan dan mengenang kepergianku.”

Imelda selesai merentangkan tangannya dan beralih menarik tangan Sandi untuk bangkit bersamanya. Sandi menatap Imelda dengan kikuk, tetapi Imelda tidak peduli. Akhirnya mereka sama-sama berdiri, menghadap lurus ke sebuah jurang.

“Lihatlah jurang itu, sangat dalam dan mampu membinasakan. Sedangkan pemandangan di belakang, seluruhnya dihiasi dengan rumah-rumah penduduk yang sangat rapat dan mungkin … kumuh. Yang perlu kamu pahami, mengakhiri hidup itu. Tapi, coba lihat pada bagian belakang, betapa berantakannya hidup orang lain yang tidak pernah kita ketahui. Mungkin kamu merasa tersiksa dengan kehilangan Hannah, mungkin juga berpikir bahwa menyusulnya adalah yang terbaik. Namun, ketahuilah, banyak luka yang menjerit lebih parah dari lukamu. Saranku, daripada larut dalam kesedihan, lakukanlah hal berguna untukmu dan untuk orang lain.” Imelda menepuk-nepuk punggung Sandi setelah mengatakan itu.

Sandi diam sambil mencerna kalimat Imelda.

“Sepertinya kamu salah paham, aku tidak berpikir untuk mengakhiri hidupku setelah kematian Hannah,” ucap Sandi kepada Imelda.

Imelda terkekeh. “Mungkin belum, atau kamu sedang mengelaknya,” kata gadis itu. “Dari caramu memikirkan penyebab-penyebab buruk dari kematian Hannah, serta memelukku seolah aku ini adalah Hannah. Sudah menggambarkan betapa kamu kehilangannya. Belum lagi perkataanmu ketika sedang memelukku, jelas sekali ada luka yang kamu simpan. Jangan sok kuat, Sandi. Aku tahu kamu rapuh. Kehilangan juga bukan hal sepele, bahkan cukup mematikan. Hanya orang-orang yang pernah kehilanganlah yang tahu bagaimana rasanya.”

Sandi tidak percaya akan mendapat hal ini dari orang yang belum genap sehari ditemuinya. Setelah kepergian Hannah, Sandi memang merasa kosong. Pekerjaannya pun terbengkalai, seperti kehilangan fokus. Orang sekeliling bukannya menguatkan , malah menjauhi Sandi yang menurut mereka sedang dalam keadaan yang tidak stabil.

Meski Sandi tidak pernah memberitahu bahwa dirinya membutuhkan penguat. Namun, sebenarnya jiwanya yang membutuhkan dorongan untuk kembali bangkit.

“Kenapa, ya, baru sekarang?” kata Sandi sambil menoleh sedikit ke Imelda.

Dahi Imelda mengernyit. “Maksudnya?”

“Kenapa baru sekarang aku bertemu wanita yang mampu membuka wawasanku dan memahami cara memperlakukan seseorang yang nyaris gila karena kehilangan seseorang yang sangat dicintainya.”

Imelda hanya dapat menggelengkan kepalanya. Kemudian dia mendekatkan mulutnya ke telinga Sandi dan berkata, “Itu karena aku terlalu berharga jiika harus muncul cepat dalam hidup semua orang, sesekali orang tersebut harus mati rasa dulu untuk aku kuatkan. Begitulah teorinya.”

Kali ini Sandi yang terkekeh. Imelda senang melihat Sandi tersenyum seperti ini karena sebelumnya Sandi tidak lebih dari laki-laki kaku yang kehilangan arah hidup.

“Kamu terlihat lebih hidup dengan senyuman itu, terus lanjutkan, ya. Meski nanti sudah tidak ada lagi orang yang menguatkanmu, seperti yang aku lakukan ini.”

Seketika atmosfer bahagia Sandi berubah karena perkataan terakhir Imelda.

Bersambung ...

Fela Khoirul
Seorang gadis penuh teka-teki yang sedang berusaha menjadi lebih baik, melalui tulisannya. Memiliki ketertarikan pada skincare, mental health, dan relationship.

Related Posts

5 komentar

Posting Komentar