“Hei!”
Suara panggilan itu mengagetkan Sandi yang baru saja sampai
di sebuah kafe. Kehendaknya untuk menenangkan diri di kafe ini, mendadak
berubah karena suara panggilan yang entah datang dari mana. Rencananya untuk
menjauh dari keramaian seakan tidak dikabulkan semesta. Sepertinya, Sandi tidak
akan lagi merasakan tenang.
“Hey, it's Hannah. Hannah Baker. That's
right. Don't adjust your ... whatever device you're hearing this on. It's me,
live and in stereo. No return engagements, no encore, and this time, absolutely
no requests. Get a snack. Settle in. Because I'm about to tell you the story of
my life. More specifically, why my life ended. And if you're listening to this
tape you're one of the reasons why. I'm not saying which tape brings you into
the story. But fear not, if you received this lovely little box, your name will
pop up. I promise.”
Hannah.
Satu nama yang membuat Sandi berdiri lemas pada posisinya. Pikirannya
melanglang buana pada sebuah nama yang saat ini belum dapat dilupakannya, nama
yang selama tiga tahun terus menemaninya.
Sekaligus nama yang teramat ia rindukan karena tiada lagi dapat
dijumpainya di dunia nyata.
Hannah Pramesti, itulah nama yang kini memunculkan rindu mendalam
pada hati Sandi. Jika diminta mendeskripsikan pemilik nama indah itu, Sandi masih
mampu menyebutkannya secara detail.
Berlesung pipit manis, hidung mancung, bibir tipis, dan memiliki kulit
kuning langsat. Hannah merupakan sosok yang sempurna sebagai seorang perempuan.
Suara lembut Hannah yang begitu menenangkan Sandi, terutama pada saat Sandi
memiliki masalah pada pekerjaannya. Hannah
selalu membuat Sandi merasa tenang.
Kini, tidak ada lagi yang namanya Hannah di hidup Sandi. Tidak
sekarang ataupun waktu-waktu berikutnya. Ya, mereka dipaksa untuk berpisah oleh
takdir yang kejam. Tidak ada pamit ataupun tanda-tanda perpisahan lainnya. Semua
terjadi dengan begitu cepatnya, ketika Hannah dan Sandihendak menyiapkan acara penikahannya.
Hal yang Sandi sesali dari kepergian Hannah adalah tentang cerita mereka yang
belum tuntas. Bahkan mereka harus bertengkar hebat dan membuat Hannah tersedu
karena Sandi tidak menyukai perkataan terakhir Hannah.
“Semalam aku bermimpi, Mas. Aku berada di suatu tempat yang
indah, tanpa seseorang pun menemaniku. Perasaanku sangat tenang, seperti tanpa
beban. Aku ingin ke sana, meninggalkan keduniawian yang membuatku merasa lelah.
Aku ingin lebih dekat dengan penciptaku.”
Baru sekarang Sandi sadari bahwa apa yang dikatakan Hannah
saat itu adalah sebuah petunjuk tentang kejadian pahit yang akan memisahkan
mereka. Bodoh sekali, Sandi tidak peka jika Hannah ingin berpamitan kepadanya. Dia
malah sibuk dengan urusan pekerjannya, sampai-sampai tidak menyadari bahwa ada
hal yang menimpa calon istrinya. Hannah meninggal dalam kecelakaan ketika
malam-malam ingin menemui Sandi. Nyawanya tak terselamatkan karena ada
pendarahan di otaknya. Sandi pun baru tahu mengenai kabar meninggalnya Hannah
ketika gadis itu hamper dikebumikan.
Itulah mengapa Sandi merasa bersalah kepada Hannah. Meski kematian
adalah takdir dari Tuhan, tetapi keegoisan Sandi-lah yang membuat Hannah pergi
malam itu. Dan itu berarti, Sandi-lah yang telah membunuh Hannah.
“Atau mungkin Hannah tidak pernah kecelakaan, tetapi dia
bunuh diri,” ucap Sandi yang tiba-tiba memikirkan hal lain tentang penyebab
kematian Hannah.
Sandi mulai teringat pada suara yang tadi sempat mengusiknya
kemudian memutar tubuhnya untuk mencari tahu di mana sumber suara tersebut. Kemudian
didapatinya sebuah meja dengan kursi yang melingkar, dengan beberapa orang yang
aktif berdiskusi. Tidak jelas apa yang sedang mereka lakukan, tetapi dalam
lingkaran itu terdapat satu perempuan yang memasang wajah ketakutan sambil
memegangi sebuah rekaman suara.
“See, I've heard so many stories about me
now that I don't know which one is the most popular, but I do know which is the
least popular. The truth. See, the truth isn't always the most exciting version
of things or the best or the worst. It's somewhere in between, but it deserves
to be heard and remembered. The truth will out, like someone said once. It
remains.”
Beberapa tindakan
orang-orang di sekeliling perempuan itu, membuat Sandi semakin tidak mengerti
dengan apa yang sedang mereka lakukan. Sandi tetap berusaha mencerna perkataan
yang direkam oleh sang perempuan, tentang sesuatu yang sangat menyakitkan
mengenai kebenaran.
Sandi jadi teringat
jika dulu dia sering tidak ingin mendengarkan pernyataan kebenaran dari Hannah.
Sering sekali dia ingin menang sendiri, tetapi dengan sabarnya Hannah
menghadapi Sandi. Hannah hampir tidak pernah mengeluh, bahkan di saat Sandi
teramat mengecewakannya. Hal inilah yang membuat Sandi semakin berpikir,
mungkin saja Hannah mengakhiri hidupnya karena tidak tahan jika harus
menghabiskan waktu dengan sikap egois Sandi.
“Hannah,” lirih
Sandi kepada perempuan yang sedari tadi merekam suaranya.
Perempuan tersebut
menatap Sandi dengan heran, begitu pula dengan orang-orang di sekeliling
perempuan tadi. Sandi secara cepat menarik tangan perempuan tersebut dan
mencium keningnya. Perempuan itu kaget.
“Aku tidak akan
pernah kehilanganmu lagi, aku akan membawamu pergi ke tempat yang lebih indah
dari mimpimu. Hannah, jangan tinggalkan aku lagi. Aku mati karenamu.”
Bersambung ...
Bersambung ...
Jangan mati, masih ada hari esok. Saran dari q buat Sandi ye. Heheee
BalasHapusWah reinkarnasi hanna kah?
BalasHapusMasih menyisakan teka-teki
BalasHapusMari kita tengok episode selanjutnya, manteman๐๐๐
BalasHapusAku mati terjatuh karena pesonamu
BalasHapus