Sebagai gadis kecil yang tak tahu kesukaran hidup, aku langsung mengerucutkan bibir ketika dibelikan buku kumel semacam itu. Bayangkan saja, bagian pinggirnya robek, beberapa kertasnya pun sudah terlepas dari perekatnya, dan beberapa tulisan juga sulit dibaca.
Tak banyak kata yang kuucap, hanya rona kecewa yang menghiasi wajahku kala itu. Namun, bukan Ayah namanya jika tidak memahami kemurungan hati putrinya ini. Dia lalu mengelus pipi mungilku dan berkata, "Buku yang baik tidak ternilai dari presentase kemahalannya, juga tidak terlihat dari penampilan fisiknya. Namun, buku yang baik ialah buku yang bermakna mendorong. Ketahuilah, Sayang, buku indah dan mahal di luar sana tidak jauh lebih baik dari satu buku kuno ini, karena tidak semua buku mengandung makna tersirat tentang kehidupan hierarki. Banyak dari buku itu yang hanya menonjolkan penampilan fisik tanpa diimbangi dengan isinya."
Aku mengangguk, bersikap sebagai gadis kecil yang manis dan penurut. Setelah itu, Ayah membuka buku tersebut dan membacakan isinya kepadaku. Seketika halaman pertamanya dibuka, seketika itu pula Ayah terbatuk-batuk. Buku itu dipenuhi debu. Aku langsung risau, tetapi Ayah malah tersenyum dan memintaku rebahan sambil mendengarkannya membacakan isi buku itu.
Waktu terus berjalan, setiap harinya Ayah membacakan isi buku itu hingga mencapai halaman ratusan. Namun, suatu malam Ayah berhenti membacanya karena ajal sudah lebih dulu menghampiri. Satu yang dia katakan sebelum benar-benar meninggalkanku, "Buku adalah penghibur di kala kesedihan. Jika kau merasa sedih, jika kehidupanmu terasa hambar, dan jika tidak ada lagi obat dari kepiluan hatimu. Maka bacalah setiap buku yang ada di hadapanmu, apa pun itu. Bacalah bacalah bacalah! Niscaya buku akan memberikan ketenangan batin untukmu."
Setelah malam itu, aku berhenti membaca. Bagiku, buku hanyalah piranti yang membawa kedukaan karena ia akan mengingatkanku kepada Ayah. Namun, tiba-tiba sekelebat angan hadir menyapa pikiranku yang sedang kalut. Dengan bergemetaran, aku kembali membuka buku itu.
Rasa rindu kembali memorak-porandakan jiwaku, aku langsung membolak-balikkan buku itu seperti gadis yang sedang dirasuki oleh iblis ilmu. Namun, gerakanku terhenti pada halaman yang tertutupi oleh sebuah kertas putih. Aku mengambil kertas tersebut, tetapi belum berniat membacanya. Justru yang kubaca adalah rangkaian kata pada halaman buku yang kubuka itu. Otakku mulai menerka-nerka. Ya, aku ingat, ini adalah halaman yang terakhir Ayah bacakan untukku.
Aku lalu memincingkan mataku ke arah kertas yang sempat kusingkirkan tadi, kemudian membacanya lamat-lamat. Kudapati pesan terakhir yang diberikan Ayah kepadaku, tampak jelas bahwa Ayah was-was jika aku tidak ingin kembali membaca setelah kepergiannya. Hatiku terenyuh, dalam pesan tersebut Ayah mengungkapkan harapannya bahwa akan menjadi pelita ilmu. Dia ingin aku dapat mendirikan sebuah perpustakaan yang berisi ribuan buku yang dapat dibaca oleh khalayak di setiap waktu. Karena kata Ayah, "Boleh saja kamu memiliki ribuan buku, tetapi pasti hanya satu yang akan menjadi kesayanganmu untuk dibaca berulang-ulang tanpa pernah bosan. Tidak ada larangan untuk memiliki ribuan buku, tetapi ketahuilah bahwa tidak semua orang dapat membaca banyak buku sepertimu. Baca sekali dan bagikan, itu yang terbaik, Sayang."
Pesan itu selalu kuingat. Dan setiap harinya, aku selalu menyisihkan uang sakuku guna membeli minimal satu buku setiap satu bulan sekali. Namun, baru setelah dua belas tahun berlalu, aku dapat mewujudkan pengharapan besar Ayah itu.
"Ada banyak ilmu yang kamu bagikan melalui buku-buku ini, jasamu sangatlah besar, Rin. Tetapi, apa yang sebenarnya kamu jadikan bahan pertimbangan untuk mendirikan perpustakaan ini?" tanya Alanasahabatkusambil memandangi muda-mudi yang sedang berebut tempat duduk.
Aku sedikit terkekeh lalu menoleh ke arahnya. "Sejak kecil aku selalu dibiasakan untuk gemar membaca dan karena itu aku ingin mengajak semua orang untuk gemar membaca sepertiku. Buku itu multifungsi, ia dapat menjadi ilmu, obat, penawar, penghibur, juga teman di kala kesendirian. Jadi, aku akan membagikan keindahan dari buku kepada semua orang karena berbagi itu memang indah."
"Lalu, apa semua buku yang kamu miliki, kamu sumbangkan untuk mereka?" tanya Alana lagi, mencoba mengorek informasi tentangku dan semua buku-bukuku.
Aku sontak menggeleng, "Tidak," ucapku, "aku memiliki satu buku yang selalu kubaca berulang setiap malamnya. Jika dibandingkan semua buku ini, buku tersebut memang jauh dari kata indah. Namun, buku itu memiliki arti mendalam untukku."
"Mengapa bisa?"
"Karena buku itu merupakan pengingat bahwa ada seseorang yang pernah mendorongku untuk seperti ini, dan orang itu adalah ayahku. Dahulu ayahku pernah berkata bahwa tak perlu banyak buku untuk kumiliki, karena percuma saja. Seberapa banyak buku itu, seberapa mahal buku itu, juga seberapa indah buku itu, tidak akan berarti apa-apa jika kita sudah nyaman pada satu buku.
Alana mengangguk-angguk kemudian tersenyum. Setelah itu, kami melanjutkan perbincangan dengan topik campur aduk. Tak jarang juga kami melempar tawa ketika sedang membicarakan satu hal yang bersifat menggelitik.
Buku, engkaulah sumber ilmu yang dapat mencerdaskan segala generasi. Darimu dipetik sebuah makna tentang arti kehidupan juga tentang filsafat yang bermakna hakiki. Engkaulah temanku, teman mereka, dan teman kami semua. Melalui isimu, kami jadi tahu apa-apa saja yang tidak kami ketahui sebelumnya. Melalui isimu pun, kami mendapatkan kepandaian serta segala hal yang tak pernah kami duga sebelumnya.
Buku adalah sumber ilmu ya kak.
BalasHapusBuku adalah sumber ilmu ya kak.
BalasHapusIni kisah nyata sepertinya, ya..?
BalasHapusAyahnya keren, memberikan warisan tak ternilai.
Cukup satu buku untuk bisa jatuh cinta dengan tulisan.
BalasHapusInget ibuk yang memperkenalkan dunia lewat jendela mata buku..☺
Terima kasih buku dan kamu yg membuat tulisan pengingat bagiku 😊
BalasHapusAku masih belum bertemu dengan 1 buku itu h'm.. Buku yang berulang kali dibaca tanpa bosan
BalasHapus