Dariku untuk Ara

9 komentar

            Ara. Hanya terdiri dari dua buah huruf, tetapi selalu mampu memorak porandakan hatiku ketika namanya disebut. Sekilas tidak ada yang sepesial darinya. Berambut panjang lurus, mungil, dan berketurunan Tionghoa. Nada bicaranya yang khas Tionghoa, membuatku sering terkekeh ketika mendengar suaranya. Berbeda sekali dengan suara Jawa-ku yang medok. Setiap kata yang dia ucapkan pun sangat berarti, jelas saja karena Ara adalah orang yang irit bicara dan irit senyuman.

            Tiga tahun bersama, suka dan duka telah mewarnai hubungan kami. Sedikit banyak aku mengenalnya, pandanganku tentangnya pun sudah banyak berubah. Dia yang semula kukenal sebagai sosok yang angkuh, nyatanya adalah sosok yang lembut dan baik hati. Dia menyayangiku, lebih dari aku menyayangi diriku sendiri. Dia perhatian dan pengertian, serta selalu tahu apa yang aku butuhkan. Bahkan ketika aku sedang tidak percaya kepada hidup, dia yang mengembalikan kepercayaanku.

            Bagiku, Ara sangat spesial. Lebih spesial dari apa pun yang ada di dunia ini. Jika seluruh dunia harus ditukar dengan seorang Ara, aku pun rela.

            Akan tetapi, kisah manisku bersama Ara hanya berjalan satu tahun. Ya, satu tahun. Sebuah tragedi yang menimbulkan pertengkaran besar di antara kami, nyatanya telah membawa pergi sikap manis Ara. Dia berubah banyak. Kasih sayangnya tidak seperti dulu, bahkan panggilan kesayangannya untukku juga menghilang. Tentu aku sedih kala itu, tetapi tidak banyak yang dapat aku lakukan. Perubahan adalah hal wajar dalam hidup manusia, asal tidak ke arah yang sangat merugikan. Aku pun coba menerima, meski terkadang rindu pada sosoknya yang dulu. Setidaknya dari segala perubahan itu, ada satu yang belum berubah, yakni kebersamaan kami.

            “Kak Ara, apa selama ini aku merepotkanmu?” tanyaku padanya.

            Ara hanya menjawab, “Kalau kamu merepotkanku, untuk apa aku masih bersamamu. Lebih baik aku pergi meninggalkanmu dan bersenang-senang dengan yang lain.”

            Saat itu aku senang dengan jawabannya, cukup melegakan. Walau lambat laun, karena seringnya pertanyaan itu terlontar, Ara jadi kembali menjauhiku. Untung tidak lama, kami kembali berbaikan setelah itu. Dan karena tidak ingin kembali kehilangannya, aku mencoba untuk tidak lagi melontarkan pertanyaan tersebut.

            “Aku sadar kita bagai dua sisi yang berbeda, seperti langit dan bumi. Tidak seharusnya kita bersatu,” kataku di kesempatan lain, ketika merasa begitu banyak perbedaan di antara kami.

            Dan dengan enteng dia menjawab, “Bukannya semua hal di dunia ini tercipta dengan banyak perbedaan? Engsel pintu, sendok-garpu, serta siang-malam. Mereka sangat berbeda, tetapi perbedaan itu yang menyatukannya.”

            “Berarti artinya apa?”

            “Artinya memang kita ditakdirkan untuk bersama,” katanya dengan nada sedikit kesal.

            Sikap Ara bagaikan bunglon. Kadang dia baik, kadang menyebalkan, dan kadang pula dia bersikap seolah tidak menginginkanku. Perbedaan-perbedaan yang mencolok di antara kami pun sering membuatku bertanya-tanya, “Apakah dengan segala perbedaan itu, kami masih dapat bersatu selamanya?”

            Sayangnya tidak. Tepat di tiga tahun pertemuan kami, hubunganku dan Ara semakin memburuk. Bahkan cara perpisahan kami pun tidak masuk dalam nalarku. Semua terjadi begitu saja, tanpa dapat aku perkirakan. Hilangnya dia setelah aku menyiapkan kejutan di hari ulang tahunnya, tak kusangka mengantarkan kami pada hal menyebalkan ini. Kekecewaan yang sengaja aku tunjukkan agar dia memahami isi hatiku, ternyata dibalas dengan hal yang berkali menyakitkan. Kecewa tinggallah kecewa. Aku hanya mampu menuruti apa mau takdir, termasuk keputusan untuk memisahkan kami.

            Aku tidak pernah menyalahkan pertemuan kami yang dibarengi dengan luka. Kalau dapat memutar waktu, aku pun berharap tidak melakukan hal yang berakibat pada perpisahan kami. Aku sangat merindukannya, setengah hatiku belum dapat menerima jalan takdir ini. Rasanya aku ingin muncul di depannya dan meluruskan semua kesalahpahaman, tetapi aku sadar bahwa itu hanya akan memperpanjang perpisahan yang lebih dahsyat. Hubungan kami seperti kertas usang, begitu rapuh jika tertiup angin. Segala hal yang membuatku merasa nyaman dengannya telah lama hilang, yang tersisa hanyalah keegoisan untuk mempertahankannya.

            Di ujung tulisan ini, aku mengulumkan senyuman. Kami telah melakukan yang terbaik selama tiga tahun ini, saling menyayangi tanpa batas. Perpisahan bukanlah akhir, mungkin inilah awal dari perjalanan hidup yang baru. Namun, jika Tuhan masih berkenan untuk kembali menyatukan kami, aku pun akan bersyukur.

            “Kak Ara, apa yang terjadi dengan kita saat ini benar-benar menyakitkan. Aku belum sepenuhnya rela melepasmu. Namun, hatiku sudah telanjur lara. Dan kamu penyebabnya. Maafkan atas sikap kekanakanku dan terima kasih telah setia menemaniku. Dari dulu, sekarang, sampai waktu akan datang, kamu kakak terbaik yang pernah aku miliki. Semoga hidupmu jauh bahagia, tanpa adik merepotkanmu ini. Salam sayang dan rindu dariku. Untukmu.”

Fela Khoirul
Seorang gadis penuh teka-teki yang sedang berusaha menjadi lebih baik, melalui tulisannya. Memiliki ketertarikan pada skincare, mental health, dan relationship.

Related Posts

9 komentar

  1. yang sabar ya. turut berduka. menangislah tapi jangan lama-lama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Kak. Sedih memang, tapi air mata udah habis untuknya. Mungkin ini yang terbaik

      Hapus
  2. Balasan
    1. Jangan sedih dong, Kak. Kalo Kakak sedih, siapa yang mau hibur aku dong Wkwkw

      Hapus
  3. Balasan
    1. Sayangnya dia memang jauh dari dulu Kak, wkwk. Terpisah pulau dan sekarang terpisah kedekatan

      Hapus

Posting Komentar