Sebuah Kisah Perjalanan di Jalan Pemuda

12 komentar

Terhitung dua tahun sejak aku mengalihkan jalur perjalanan dari Jalan Pemuda ke area Tembalang, tidak banyak yang berubah dari jalan ini. Jalan Pemuda masih ramai dikelilingi kendaraan bermotor yang berlalu lalang bersamaan dengan kemacetan. Sebenarnya Semarang bukanlah kota metropolitan yang jalanannya padat merayap seperti Jakarta. Akan tetapi, posisi Jalan Pemuda sebagai salah satu pusat kota, membuat area ini sangat ramai, terutama di sekitar lampu merah Tugu Muda.

Pagi tadi salah satu teman SMA-ku, Nabila, mengajak untuk berswafoto di Lawang Sewu. Kontan aku menyetujui ajakan tersebut, meski saat itu aku sedang berkuliah Metodologi Pusdokinfo.

Aku dan Nabila bertemu di Gramedia Amaris, sekitar pukul setengah dua siang. Setelah itu, kami memulai perjalanan dengan mengunjungi SMA Negeri 5 Semarang, yang notabenenya adalah SMA kami. Dikarenakan gerbang untuk masuk ke area lapangan tengah tertutup rapat, kami memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Kedatangan kami disambut oleh Bu Wahyu, salah satu pustakawan Perpustakaan SMA Negeri 5 Semarang. Kami berbincang sedikit, tentang di mana aku dan Nabila kuliah serta apa tujuan kami datang ke sekolah.

Rasa antusiasku tiba-tiba muncul ketika melihat Bu Wahyu membuka aplikasi Senayan Library Management System (SLIMS) karena pada mata kuliah Aplikasi Teknologi Informasi, aku mendapat praktik mengoperasikan SLIMS.

“Bu, apakah itu aplikasi SLIMS?” tanyaku kepada Bu Wahyu, yang semoga saja tidak salah menebak.

“Iya, kok kamu tahu tentang aplikasi ini?” jawab Bu Wahyu yang sekaligus balik bertanya kepadaku.

Aku pun menceritakan bahwa aku sedang mendapatkan mata kuliah tentang bagaimana cara mengoperasikan SLIMS. Kemudian cerita berlanjut dengan pertanyaan mengenai jurusanku serta dosen-dosen yang mengajarku karena secara kebetulan Bu Wahyu adalah alumni di bidang studiku, yaitu Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Universitas Diponegoro.

Perpustakaan SMA Negeri 5 Semarang terlihat sangat berbeda dari yang terakhir kali kulihat. Saat ini sudah ada air conditioner (AC) yang membuat perpustakaan lebih dingin, tidak seperti dua tahun lalu yang hanya menggunakan kipas angin dan terasa begitu pengap karena gedung yang digunakan untuk perpustakaan adalah mantan tempat parkir.

Ingin sekali aku mengelilingi perpustakaan dan melihat bagaimana koleksinya, serta mencocokkan keadaan di sekolahku dengan ilmu yang aku dapatkan di perkuliahan. Namun, kedatangan Pak Amir—guru geografiku—membuat pembicaraan menjadi lebih seru dan hilanglah rasa ingin berkeliling perpustakaan.

Selesai dari perpustakaan, aku dan Nabila memutuskan untuk masuk ke sekolah sebentar. Tujuannya adalah pergi ke kantin untuk melepas dahaga. Berbekal informasi dari Bu Wahyu dan Pak Amir, jika ingin masuk ke dalam, harus melewati ruang kepala sekolah dan guru. Kami pun memberanikan diri untuk masuk. Sayang sekali, aksi kami ketahuan oleh salah satu guru agama dan tidak diperbolehkan masuk. Padahal kami sudah memberitahu bahwa kami adalah alumni.


Mengurungkan niat untuk masuk ke dalam sekolah, kami segera menuju Lawang Sewu. Cukup jauh perjalanan ke Lawang Sewu jika ditempuh dengan jalan kaki, tetapi kami menikmatinya sambil meminum es teh.

Jalanan begitu ramai, membuatku dan Nabila harus menggunakan tombol penyeberangan agar mudah menyeberang. Cara menggunakan tombol ini cukup mudah, yaitu dengan menekan tombol merah satu kali dan akan menghasilkan bunyi ‘tot tot tot’. Kendaraan yang mendengar bunyi tersebut pun berhenti karena lampu berganti menjadi merah, lantas akan kembali hijau ketika suara ‘tot tot tot’ selesai berbunyi. Hal seperti ini memang sudah sering aku dan Nabila lakukan, bahkan seluruh murid di SMA 5 dan SMA 3 Semarang pun suka melakukannya.

Memasuki Lawang Sewu, kami harus menukarkan uang sepuluh ribu rupiah dengan satu tiket masuk. Dalam tiket masuk tersebut terdapat barcode untuk di-scan di pintu masuk. Aku jadi teringat ketika pergi ke Dusun Bambu di Bandung, juga menggunakan cara yang sama. Hal ini menyadarkanku bahwa sekarang banyak hal yang memanfaatkan perkembangan Revolusi Industri 4,0, di mana segala sesuatu sudah terautomasi.

Aku dan Nabila menghabiskan waktu cukup lama di Lawang Sewu, berkeliling di lantai satu dan dua sambil jepret gambar. Sebenarnya ada lantai tiga, tetapi tidak kami kunjungi. Itu karena pada lantai tersebut, kami merasakan ada hawa yang berbeda ketika melihat tangga masuknya secara sekilas. Tidak hanya lantai tiga yang terasa berbeda, ruang bawah tanah pun terlihat sangat menyeramkan. Hal ini wajar jika dikaitkan pada kisah sejarah bahwa pada ruangan tersebut sering dijadikan sebagai tempat pembataian warga Semarang yang tidak menurut kepada pemerintah kolonial.

Foto diri dan foto selfie banyak sekali kami ambil, seakan mencurahkan bahwa kamilah remaja era digital natives yang sedang narsis-narsisnya. Setelah merasa puas, kami melanjutkan perjalanan dengan turun ke lantai dasar. Namun, langkah kami berhenti pada sebuah ruang yang terdapat peringatan di depannya untuk tidak masuk. Di situlah kami dibuat berpikir mengapa ruangan tersebut tidak boleh dimasuki, pasalnya ruangan tersebut tampak sama seperti ruangan yang lainnya. Akan tetapi, aku dan Nabila menganggap hal tersebut sebagai angin lalu dan kembali berfoto di sebuah balkon. Sangat indah pemandangan di sekitaran balkon, ditambah lagi terdapat merpati di atas atap yang ikut melihat kami berswafoto.

Usai berkeliling di Lawang Sewu, aku dan Nabila masih belum puas, kami pun melanjutkan berswafoto di Tugu Muda. Menurut kami, tak elok rasanya jika melupakan tempat yang menjadi ikon Semarang itu, apalagi letak Lawang Sewu dan Tugu Muda sangat dekat. Di Tugu Muda, kami hanya mengambil beberapa spot foto. Jalan setapak dengan atap yang dihias bunga, air mancur, dan kursi. Awalnya foto dengan duduk di kursi adalah yang terakhir kami ambil, tetapi hidupnya air mancur indah di Tugu Muda sangat menarik perhatian. Dengan bahagia kami kembali berswafoto di depan air mancur, sambil sesekali terkena cipratan air. Dan dengan terkenanya kami dengan air di Tugu Muda, maka selesailah perjalanan kami hari ini.

Terima kasih telah ikut dalam perjalananku dan Nabila di Jalan Pemuda, sampai jumpa di lain kesempatan.

Fela Khoirul
Seorang gadis penuh teka-teki yang sedang berusaha menjadi lebih baik, melalui tulisannya. Memiliki ketertarikan pada skincare, mental health, dan relationship.

Related Posts

12 komentar

  1. Salam kenal, Mbak Fela. Saya orang Semarang lho :)
    Semangat yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga, Kak. Alhamdulillah bisa ketemu orang Semarang lagi 😊 Kalau boleh tahu, Semarangnya mana ya?

      Hapus
  2. Hasil jepretannya ga dishare, mbak? Hehee..

    😁💚

    BalasHapus
  3. gedung sekolah emang gitu ya, pas ditinggal malah jadi bagus semua daripada dulu-dulu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Suka sebel emang. Pas sekolah masih bobroque, giliran lulus jadi Bagus. Sedih lahhh

      Hapus
  4. Terima kasih, ceritamu menarik yang membuat penasaran kekhawatiranmu tentang ruangan yang menyeramkan itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenernya cuma penasaran kenapa kok dilarang gitu, apalagi tempat itu banyak mitos menyeramkan. Jadi mikir ada sesuatu

      Hapus
  5. Kapan2 bisalah yak ikut jalan-jalan kesanaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh, Kak. Ke Semarang dulu tapi yah, jangan lupa fee sebagai tuor guide. Hehe

      Hapus
  6. Wah..ketemu orang Semarang disini..salam kenal yaa dari Semarang paling ujung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga, Kak 😊 Ujung yang sebelah mana nih Kak? 🤭

      Hapus

Posting Komentar