Terhitung dua tahun sejak aku mengalihkan jalur
perjalanan dari Jalan Pemuda ke area Tembalang, tidak banyak yang berubah dari jalan
ini. Jalan Pemuda masih ramai dikelilingi kendaraan bermotor yang berlalu lalang
bersamaan dengan kemacetan. Sebenarnya Semarang bukanlah kota metropolitan yang
jalanannya padat merayap seperti Jakarta. Akan tetapi, posisi Jalan Pemuda sebagai
salah satu pusat kota, membuat area ini sangat ramai, terutama di sekitar lampu
merah Tugu Muda.
Pagi tadi salah satu teman SMA-ku, Nabila, mengajak
untuk berswafoto di Lawang Sewu. Kontan aku menyetujui ajakan tersebut, meski
saat itu aku sedang berkuliah Metodologi Pusdokinfo.
Aku dan Nabila bertemu di Gramedia Amaris, sekitar
pukul setengah dua siang. Setelah itu, kami memulai perjalanan dengan
mengunjungi SMA Negeri 5 Semarang, yang notabenenya adalah SMA kami. Dikarenakan
gerbang untuk masuk ke area lapangan tengah tertutup rapat, kami memutuskan
untuk pergi ke perpustakaan. Kedatangan kami disambut oleh Bu Wahyu, salah satu
pustakawan Perpustakaan SMA Negeri 5 Semarang. Kami berbincang sedikit, tentang
di mana aku dan Nabila kuliah serta apa tujuan kami datang ke sekolah.
Rasa antusiasku tiba-tiba muncul ketika melihat Bu
Wahyu membuka aplikasi Senayan Library Management System (SLIMS) karena pada
mata kuliah Aplikasi Teknologi Informasi, aku mendapat praktik mengoperasikan
SLIMS.
“Bu, apakah itu aplikasi SLIMS?” tanyaku kepada Bu
Wahyu, yang semoga saja tidak salah menebak.
“Iya, kok kamu tahu tentang aplikasi ini?” jawab Bu
Wahyu yang sekaligus balik bertanya kepadaku.
Aku pun menceritakan bahwa aku sedang mendapatkan mata
kuliah tentang bagaimana cara mengoperasikan SLIMS. Kemudian cerita berlanjut
dengan pertanyaan mengenai jurusanku serta dosen-dosen yang mengajarku karena
secara kebetulan Bu Wahyu adalah alumni di bidang studiku, yaitu Ilmu
Perpustakaan dan Informasi, Universitas Diponegoro.
Perpustakaan SMA Negeri 5 Semarang terlihat sangat
berbeda dari yang terakhir kali kulihat. Saat ini sudah ada air conditioner
(AC) yang membuat perpustakaan lebih dingin, tidak seperti dua tahun lalu yang
hanya menggunakan kipas angin dan terasa begitu pengap karena gedung yang
digunakan untuk perpustakaan adalah mantan tempat parkir.
Ingin sekali aku mengelilingi perpustakaan dan melihat
bagaimana koleksinya, serta mencocokkan keadaan di sekolahku dengan ilmu yang
aku dapatkan di perkuliahan. Namun, kedatangan Pak Amir—guru geografiku—membuat
pembicaraan menjadi lebih seru dan hilanglah rasa ingin berkeliling
perpustakaan.
Selesai dari perpustakaan, aku dan Nabila memutuskan
untuk masuk ke sekolah sebentar. Tujuannya adalah pergi ke kantin untuk melepas
dahaga. Berbekal informasi dari Bu Wahyu dan Pak Amir, jika ingin masuk ke
dalam, harus melewati ruang kepala sekolah dan guru. Kami pun memberanikan diri
untuk masuk. Sayang sekali, aksi kami ketahuan oleh salah satu guru agama dan
tidak diperbolehkan masuk. Padahal kami sudah memberitahu bahwa kami adalah
alumni.
Mengurungkan niat untuk masuk ke dalam sekolah, kami segera
menuju Lawang Sewu. Cukup jauh perjalanan ke Lawang Sewu jika ditempuh dengan
jalan kaki, tetapi kami menikmatinya sambil meminum es teh.
Jalanan begitu ramai, membuatku dan Nabila harus menggunakan
tombol penyeberangan agar mudah menyeberang. Cara menggunakan tombol ini cukup
mudah, yaitu dengan menekan tombol merah satu kali dan akan menghasilkan bunyi ‘tot
tot tot’. Kendaraan yang mendengar bunyi tersebut pun berhenti karena lampu
berganti menjadi merah, lantas akan kembali hijau ketika suara ‘tot tot tot’
selesai berbunyi. Hal seperti ini memang sudah sering aku dan Nabila lakukan,
bahkan seluruh murid di SMA 5 dan SMA 3 Semarang pun suka melakukannya.
Memasuki Lawang Sewu, kami harus menukarkan uang sepuluh
ribu rupiah dengan satu tiket masuk. Dalam tiket masuk tersebut terdapat barcode
untuk di-scan di pintu masuk. Aku jadi teringat ketika pergi ke
Dusun Bambu di Bandung, juga menggunakan cara yang sama. Hal ini menyadarkanku bahwa
sekarang banyak hal yang memanfaatkan perkembangan Revolusi Industri 4,0, di
mana segala sesuatu sudah terautomasi.
Aku dan Nabila menghabiskan waktu cukup lama di Lawang
Sewu, berkeliling di lantai satu dan dua sambil jepret gambar. Sebenarnya ada lantai
tiga, tetapi tidak kami kunjungi. Itu karena pada lantai tersebut, kami
merasakan ada hawa yang berbeda ketika melihat tangga masuknya secara sekilas. Tidak
hanya lantai tiga yang terasa berbeda, ruang bawah tanah pun terlihat sangat
menyeramkan. Hal ini wajar jika dikaitkan pada kisah sejarah bahwa pada ruangan
tersebut sering dijadikan sebagai tempat pembataian warga Semarang yang tidak
menurut kepada pemerintah kolonial.
Foto diri dan foto selfie banyak sekali kami
ambil, seakan mencurahkan bahwa kamilah remaja era digital natives yang sedang
narsis-narsisnya. Setelah merasa puas, kami melanjutkan perjalanan dengan turun
ke lantai dasar. Namun, langkah kami berhenti pada sebuah ruang yang terdapat
peringatan di depannya untuk tidak masuk. Di situlah kami dibuat berpikir
mengapa ruangan tersebut tidak boleh dimasuki, pasalnya ruangan tersebut tampak
sama seperti ruangan yang lainnya. Akan tetapi, aku dan Nabila menganggap hal tersebut
sebagai angin lalu dan kembali berfoto di sebuah balkon. Sangat indah
pemandangan di sekitaran balkon, ditambah lagi terdapat merpati di atas atap
yang ikut melihat kami berswafoto.
Usai berkeliling di Lawang Sewu, aku dan Nabila masih
belum puas, kami pun melanjutkan berswafoto di Tugu Muda. Menurut kami, tak
elok rasanya jika melupakan tempat yang menjadi ikon Semarang itu,
apalagi letak Lawang Sewu dan Tugu Muda sangat dekat. Di Tugu Muda, kami hanya
mengambil beberapa spot foto. Jalan setapak dengan atap yang dihias
bunga, air mancur, dan kursi. Awalnya foto dengan duduk di kursi adalah yang
terakhir kami ambil, tetapi hidupnya air mancur indah di Tugu Muda sangat
menarik perhatian. Dengan bahagia kami kembali berswafoto di depan air mancur,
sambil sesekali terkena cipratan air. Dan dengan terkenanya kami dengan air di
Tugu Muda, maka selesailah perjalanan kami hari ini.
Terima kasih telah ikut dalam perjalananku dan Nabila
di Jalan Pemuda, sampai jumpa di lain kesempatan.
Salam kenal, Mbak Fela. Saya orang Semarang lho :)
BalasHapusSemangat yaa
Salam kenal juga, Kak. Alhamdulillah bisa ketemu orang Semarang lagi 😊 Kalau boleh tahu, Semarangnya mana ya?
HapusHasil jepretannya ga dishare, mbak? Hehee..
BalasHapus😁💚
Cukup disimpan dalam galeri hp 😁😁
Hapusgedung sekolah emang gitu ya, pas ditinggal malah jadi bagus semua daripada dulu-dulu.
BalasHapusSuka sebel emang. Pas sekolah masih bobroque, giliran lulus jadi Bagus. Sedih lahhh
HapusTerima kasih, ceritamu menarik yang membuat penasaran kekhawatiranmu tentang ruangan yang menyeramkan itu
BalasHapusSebenernya cuma penasaran kenapa kok dilarang gitu, apalagi tempat itu banyak mitos menyeramkan. Jadi mikir ada sesuatu
HapusKapan2 bisalah yak ikut jalan-jalan kesanaa
BalasHapusBoleh, Kak. Ke Semarang dulu tapi yah, jangan lupa fee sebagai tuor guide. Hehe
HapusWah..ketemu orang Semarang disini..salam kenal yaa dari Semarang paling ujung
BalasHapusSalam kenal juga, Kak 😊 Ujung yang sebelah mana nih Kak? 🤭
Hapus