Gadis itu mendekat ke sebuah pohon, meneliti beberapa
sayatan yang berisi kenangan manisnya bersama dengan seorang laki-laki spesialnya.
Tangan kanannya sudah menggenggam cutter
lantas digunakanlah cutter tersebut
untuk mengukirkan satu kata pada pohon di depannya. Evanescent. Sebuah periode
waktu dalam hidup manusia, yang relatif singkat dan tidak akan bertahan dalam
waktu yang lama. Layaknya hubungan gadis itu dengan seorang laki-laki yang
menciptakan manis, tetapi hanya sesaat.
Melupakan seseorang yang sangat berarti, tentu berat
dilakukan. Namun, gadis itu harus melakukannya untuk kepentingan bersama,
terutama untuk kesehatan jiwanya. Dia tidak ingin terjebak pada bunga perasaan
yang hanya dia sendiri yang merasakan, sementara orang tersebut tidak.
“Maafkan jika aku tidak mengucap pamit kepadamu, perpisahan
ini memilukan. Semoga kehidupanmu berjalan seperti biasa tanpaku,” ucap Imelda
sambil menitikkan air matanya.
Memang tidak butuh waktu lama untuk mengukir kisah bersama
laki-laki istimewanya, tetapi waktu yang relatif singkat itu memberi efek mahadahsyat
dalam mengubah hidup Imelda. Hidupnya yang semula digunakan untuk memberi
kebaikan kepada orang lain, tanpa meminta balasan. Mulai membuat Imelda ingin
perasaannya dibalas.
Sandi yang telah mengajarkan tentang perasaan menghancurkan
yang selama ini tidak pernah Imelda rasakan. Dan karena ini adalah kali pertama
dalam fase hidupnya, Imelda jadi gelagapan. Tidak tahu harus berbuat apa, serta
sulit menanggulanginya.
Imelda terus berpikir bagaimana cara menghapus nama Sandi di
hatinya, tetapi tidak pernah menemukan cara terbaik. Hingga datang sebuah
kesempatan yang mungkin dapat membuatnya lupa pada sosok Sandi, yakni dengan
pergi.
“Perasaanku telah menemui jalannya sendiri. Bukan dengan sampai
di pelabuhan terakhirnya, melainkan tenggelam dan menyatu dengan samudera luas.”
Imelda mulai mengeluarkan sebuah surat dari tas ranselnya,
juga sebuah paku yang berukuran sedang. Mulai ditancapkan surat itu pada pohon
memorinya menggunakan paku, semoga tidak akan tertiup angin.
Imelda pun kembali melangkah pergi, waktunya sudah hampir
habis. Meski pergi adalah keputusan terbaik yang ia pilih, tetap saja terasa
berat. Kakinya lemas untuk melangkah, hatinya telanjur tertinggal pada Sandi.
Kepalanya dipaksa menoleh ke belakang atas paksaan hati yang terus menjerit
kesakitan.
Matanya berkaca. “Jika memang kita ditakdirkan untuk
bersatu, pasti kita akan dipertemukan kembali. Sejauh apa pun aku pergi. Terima
kasih atas kisah Hannah-mu, Sandi.”
*****
Hai,
Aku hendak bercerita kepadamu, apa kamu mau?
Ini cukup lucu, tetapi kamu pasti tidak akan tertawa. Aku sebenarnya tidak
sebahagia yang kamu lihat. Hidupku kacau, tidak ada yang dapat diharapkan. Aku
tidak punya orang yang istimewa dan menjadikanku alasan untuk menetap, bahkan
orang tuaku saja dengan mudahnya meninggalkanku. Aku tertekan, sangat. Beberapa
kali aku menyakiti diriku dan merasa bahagia dengan semua itu.
Jika kamu pernah bertanya mengapa aku dan teman-temanku bermain role
play Hannah Baker, inilah jawabannya. Karena aku ingin lebih menghargai hidup
dan tidak larut dalam masalah, apalagi berpikir untuk mengakhiri hidup. Toh,
nantinya hidupku akan berakhir dengan sendirinya.
Teman-temanku sama sepertiku,
mereka memiliki masalah yang berat dalam hidupnya. Itulah mengapa kami bersatu.
Karena orang yang bahagia, tidak akan memahami tujuan adanya role play ini. Ya, meski aku tidak pernah percaya bahwa ada orang yang sepenuhnya
bahagia. Bagiku, orang bahagia adalah orang menyeramkan yang terlalu pandai
menyimpan luka.
Sandi …
Semoga saja benar kau yang membukanya.
Surat ini sengaja kutulis untukmu, sebagai pengganti kata perpisahan
dariku. Maafkan jika aku terlalu pengecut karena tidak berani berpamitan denganmu,
aku hanya takut jika kembali larut dalam perasaan haru. Aku sudah beritahu
Rigel untuk mencari narator role play Hannah Baker yang baru, semoga dia dapat
menemukannya. Aku juga telah mengajukan permohonan pengunduran diri kepada
Rigel, tetapi aku tidak mengizinkannya memberitahu siapa pun, terutama kamu.
Aku akan pergi, sangat jauh. Mungkin kamu tidak akan berhasil
menemukanku. Atau mungkin kamu bisa menemukanku? Ah, tapi untuk apa kita
kembali bertemu? Aku hanya evanescent.
Langsung saja. Sandi, aku mencintaimu. Benar. Aku memang mencintaimu,
entah bagaimana bisa. Aku berusaha mengubur perasaan ini karena selamanya hanya
akan ada Hannah di hatimu, tetapi aku tak mampu. Kedekatan kita selama ini
menciptakan nyaman yang luar biasa untukku, aku jadi tak ingin lepas.
Sayangnya, hanya aku yang merasakannya. Kamu tidak, ‘kan?
Kamu pasti dapat melihat perubahan sikapku ketika kita berada di pohon
memori, saat itu pun aku memang ingin memancingmu. Namun, perkataan terakhirmu
membuatku sadar, selamanya aku adalah Imelda. Gadis yang tidak pernah dicintai
dan ditolak sana-sini.
Akhirnya aku pun memilih untuk mundur, aku pergi. Aku tidak ingin
merusak keadaan dengan perasaan yang tak berakar ini. Aku takut kamu membenciku
atau berpikir aku mengambil kesempatan dari kedekatan kita. Sungguh, perasaan
ini muncul secara tiba-tiba tanpa dapat aku kendalikan.
Tapi, kamu tenang saja, aku tidak akan mengganggu. Beberapa hari
sebelum peristiwa di pohon memori, aku mengirimkan permintaan untuk mengurus
Taman Bacaan Masyarakat di daerah pelosok. Alhamdulillah, dikabulkan. Siang ini
aku berangkat. Doakan, ya, aku dapat mengembangkan TBM itu.
Salam dariku,
Imelda Fatma Wijaya.
****
Rumit.
Hanya kata itu yang mampu menggambarkan betapa kacaunya
hubungan Sandi dan Imelda. Bukan hanya terlambat dalam mengungkapkan
perasaannya, Sandi pun tidak sempat memberitahu betapa berharga Imelda untuknya.
Jelas sekali dari surat tersebut, Imelda merasa rapuh karena ucapan terakhir
Sandi. Sandi memang lelaki yang tidak peka. Merasa ada yang aneh, tetapi tidak dapat
berbuat sesuatu. Sampai-sampai dia harus dihukum dengan kehilangan orang yang
dicintainya untuk kedua kali.
Masih lekat dalam ingatan Sandi bagaimana buruk harinya
tanpa Hannah dulu. Lantas, dengan cepat takdir mempertemukannya dengan Imelda
yang menciptakan rasa baru. Kemudian takdir kembali memisahkan mereka. Rasa
sesalnya pun lebih tinggi dari sebelumnya. Walau Imelda tidak meninggalkannya
seperti Hannah, tetapi ada kisah yang belum selesai di antara mereka dan
sungguh menyiksa.
“Andai aku lebih cepat datang, mungkin kita masih dapat
bertemu. Sekarang aku harus apa? Haruskah aku merutuki kebodohanku? Oh, Tuhan,
tolonglah, aku tidak ingin kehilangannya,” ucap Sandi bermonolog.
Berhari-hari Sandi coba mencari Imelda, tetapi baru hari ini
dia terpikir untuk datang ke pohon memori. Nahasnya, yang ditemuinya hanyalah
tulisan Evanescent di pohon memori
dengan sebuah surat di dekatnya. Sandi membaca surat tersebut, langsung merasa
tertohok dengan apa yang dibacanya. Imelda mencurahkan semuanya, termasuk
perasaannya kepada Sandi.
Pada dasarnya mereka merasakan perasaan yang sama, tetapi
Imelda yang pertama kali menyadarinya. Namun, sial, kerumitan harus terjadi
karena tidak bertemunya kedua ego pada satu titik yang sama.
“Kalau bagimu evanescent
adalah periode bertemunya kita hingga berakhir dengan perpisahan, maka tidak
denganku. Bagiku, evanescent adalah
pertemuan singkat dalam hidup kita yang akan menyatukan kita selama-lamanya.”
Sandi kemudian memasukkan surat dari Imelda ke dalam saku celananya. “Aku akan
beritahukan betapa berharganya kamu, meski kamu hanya evanescent. Aku berjanji akan menemukanmu untuk memperjuangkan apa
yang sama-sama kita rasakan. Tidak peduli sejauh apa pun kamu pergi, aku pasti
dapat menemukanmu. Selagi kita masih sama-sama ada di dunia ini.”
Tidak ada kisah yang sepenuhkan berakhir. Bahkan jika mereka
dapat dipersatukan dengan akhir yang bahagia, kisah itu sebenarnya masih tetap
berlanjut sampai menemui akhir yang sesungguhnya, yakni kematian. Kisah antara
Sandi dan Imelda layaknya kisah-kisah lainnya, yang mengharu biru dengan cerita
cinta dan perjuangan. Hanya saja ujian terbesar dalam cinta mereka adalah jarak
dan ruang yang telanjur melebar, serta seruan ketidakmungkinan yang membuat
cinta keduanya terasa mustahil.
Hidup tidak berhenti sampai di sini, kisah-kisah terukir
dengan indahnya dan perlahan berganti menjadi memori. Takdir kembali menghadapkan
Sandi pada kehilangan, tetapi tak lantas membuatnya menyerah. Ada pilihan yang
perlu diperjuangkan, ada pula yang harus diikhlaskan. Ikhlas adalah ketika
Tuhan ingin mengambil Hannah dari hidupnya, tetapi berjuang ketika muncul cinta
baru untuk menggantikan yang lama.
Kini Sandi akan berjuang demi Imelda. Gadis yang kembali
memberinya semangat hidup, setelah sempat terpuruk dalam kehilangan. Tak peduli
seberapa letih perjuangan itu, Sandi sudah sampai pada titik ini. Maka dari
itu, dia harus kembali berlari menuju garis finish.
Bersinar di antara gelap kehidupan yang memaksanya untuk menyerah.
SELESAI
Posting Komentar
Posting Komentar