Tugas Liputan

Posting Komentar

            Bagi kebanyakan mahasiswa, hari libur adalah saat yang tepat untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran dari kepenatan kuliah. Lima hari berkuliah, mendengarkan materi dari dosen, serta mengerjakan tugas yang menguras pikiran. Tentu membuat mahasiswa merasa lelah. Belum lagi jika mahasiswa tersebut mengikuti organisasi dan tidak hanya satu, pasti lelah yang dirasakannya terasa berkali lipat.

            Lalu, apa jadinya jika waktu istirahat tetap digunakan mahasiswa untuk mengerjakan tugas ataupun mengikuti kegiatan di luar?

            Lelah pasti, tetapi itulah yang harus ditelan mahasiswa setiap harinya. Berteriak kesakitan pun terlihat berlebihan karena ini adalah jalan yang telah dipilihnya. Tidak ada kuliah yang tidak melelahkan, pun tidak ada organisasi yang tidak menguras waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Semua adalah konsekuensi dari apa yang telah dipilih. Setidaknya suatu saat rasa lelah ini akan terbayar dengan kesuksesan.

            Seperti pagi ini, aku dan teman-teman organisasiku berangkat ke Bandungan untuk melakukan tugas peliputan. Tidak peduli rasa lelah yang masih tersisa, kami harus melakukan ini sebagai syarat untuk melangkah lebih lanjut dalam kepengurusan inti organisasi. Aku pun bukan bertindak sebagai anak yang meliput, tetapi hanya membimbing mereka dalam proses peliputan hingga menyuguhkan berita dalam sebuah feature (berita yang bersifat deskriptif dengan gaya bahasa yang lebih santai). Meski aku sendiri belum banyak tahu tentang cara meliput yang benar.

Untuk sampai di Bandungan, perlu waktu kurang lebih satu setengah jam dan harus melewati jalan yang berkelok. Sayup-sayup angin kami rasakan, sambil sesekali merasakan kantuk. Tidak jarang tubuh kami tertarik ke samping ketika pak sopir mengerem secara mendadak.

            Agenda pertama dan utama hari ini adalah pergi ke Pasar Bandungan untuk mencari berita. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok agar lebih efisien, dengan jumlah satu kelompok maksimal enam orang. Kami diberi kebebasan untuk mencari bahan liputan, entah ke pasar buah ataupun pasar bunga. Dua jam setelah dibubarkan, kami harus kembali ke titik kumpul.

Aku menjelajahi Pasar Bandungan bersama Zanu, Nike, Ambar, dan Ban. Kami cukup berhati-hati dalam berjalan karena pasar ini begitu ramai. Apalagi letaknya yang menanjak dengan penjual di sebelah kanan dan kiri, membuat arah jalan ke atas pasar begitu macet.

            Pada kondisi seperti ini, kami merasa bingung. Bukan tentang kemacetan ataupun keramaian di Pasar Bandungan, melainkan narasumber mana yang harus kami tanyai. Sebagai pemandu kelompok, aku memberi arahan kepada Ambar, Nike, dan Ban tentang bagaimana mereka harus menentukan angle dan narasumber seperti apa yang harus mereka wawancarai. Tak lupa, aku sedikit bercerita tentang pengalamanku dan teman-teman mencari berita di tahun sebelumnya.

            Kami berdiskusi cukup lama sebelum melanjutkan perjalanan. Sekilas kulihat teman-temanku kebingungan dalam tugas liputan ini, apalagi waktu yang terbatas seakan memburu kami. Alhasil, ide-ide pun muncul secara absurd. Mulai dari mewawancarai tukang ojek dekat pasar, mencari tahu ke mana larinya uang dari WC Umum, serta motif pekerjaan dari ibu-ibu yang memikul banyak belanjaan.

Setelah cukup lama berdiskusi, kami bersepakat untuk menanyai beberapa penjual di pasar mengenai keberadaan pemasok barang. Kami ingin mencari tahu bagaimana sistem transaksi barang-barang yang diperjual-belikan dan apakah pedagang merasa dirugikan dengan adanya sistem tersebut.

Kami mulai memasuki area pasar yang kondisinya cukup memprihatinkan. Bukan hanya ramai, tata letak pasar ini lumayan berantakan. Sampah-sampah plastik yang bercecer, beberapa lubang di jalan, serta area yang basah. Mencerminkan betapa kurang terawatnya pasar ini. Namun, bukan hal seperti ini yang jadi pembahasan kami. Kami harus fokus pada tujuan sebelumnya, yakni mencari tahu tentang keberadaan pemasok barang-barang di pasar.

            Mencari narasumber ternyata tidak semudah yang kami pikirkan, nyatanya tidak semua pedagang yang kami ajak wawancara mengiyakan permohonan kami. Kami pun harus berkeliling lebih jauh untuk mencari narasumber. Untung saja ada seorang penjual daging ayam dan seorang pedagang sayuran yang bersedia kami wawancarai. Berbagai pertanyaan pun kami lontarkan, mulai dari harga barang yang mereka jual hingga menjurus pada alasan mereka berjualan. Motif berjualannya pun beragam, ada yang karena saudaranya memiliki usaha ayam potong, makanya penjual tersebut ikut menjual ayam potong. Sedangkan penjual satunya berjualan karena anaknya meminta agar beliau meneruskan pekerjaan sang nenek yang dulunya berjualan di pasar. Dari motif berjualan kedua pedagang tersebut, ada sebuah kesamaan. Mereka sama-sama berjualan untuk membantu suaminya dan agar tidak terus mengandalkan gaji sang suami, aliasnya ingin mandiri.

            Melalui kegiatan wawancara ini, kami sadar bahwa apa yang dilakukan manusia dalam menghasilkan uang bermacam-macam. Kedua narasumber kami bahkan rela berjualan di pasar dan pergi pagi buta untuk mencari uang, tanpa mempersoalkan tentang kodratnya sebagai seorang wanita. Wanita yang dulunya hanya menghabiskan waktu di dapur, berpindah tugas dengan menghasilkan uang secara mandiri agar tidak bergantung pada suami.

Fela Khoirul
Seorang gadis penuh teka-teki yang sedang berusaha menjadi lebih baik, melalui tulisannya. Memiliki ketertarikan pada skincare, mental health, dan relationship.

Related Posts

Posting Komentar