Satu Hari Tanpa Teknologi

18 komentar

Seorang wanita menatap lurus ke arah kamar berukuran minimalis secara sembunyi, netranya menangkap dua anak kecil yang sedang tidur bersama dengan mata yang saling bertolak belakang. Mereka mengeluarkan tawa. Namun, tawa itu tidak ditujukan untuk satu sama lainnya. Melainkan, tawa tersebut hadir karena hal lucu dari benda pintar yang ada di genggamannya.

Wanita yang tidak lain bernama Wanda itu seketika mengembuskan napasnya melihat dua anaknya yang tidak peduli satu sama lain karena telah dipengaruhi oleh teknologi milenial. Wanda jadi ingat sewaktu dia kecil dulu, teknologi sangat jauh darinya. Bahkan ponsel untuk memberitahukan orang tuanya bahwa dia sudah pulang pun tidak punya. Malah-malah, Wanda pernah menunggu dua jam karena ayahnya tidak kunjung menjemputnya.

Wanda rindu masa itu, masa di mana tidak ada teknologi yang mampu membentangkan jarak antara mereka yang dekat. Zaman dulu memang berbeda dari zaman sekarang. Bersifat tradisional, tetapi mampu menumbuhkan sprotifitas. Lain dengan zaman sekarang yang hanya mengenalkan anak kepada permainan online yang mengharuskan mereka bermain dengan mesin.

"Apakah ini adalah satu contoh kegagalanku dalam mendidik anak? Sejak mereka kecil, aku selalu memberikan permainan buatan pabrik yang membuat mereka tidak mengenal permainan tradisional. Apalagi di zaman milenial ini, teknologi semakin berkembang. Mereka tidak membutuhkan teman dalam bermain, hanya membutuhkan ponsel pintar dan semua yang mereka inginkan ada dalam genggaman," ucap Wanda sambil berbalik dari pintu kamar anak-anaknya.

Saat ini Wanda merasakan jarak yang tidak terlihat antara dirinya dengan anak-anaknya. Mereka jarang sekali berkomunikasi karena Wanda harus kerja dan anak-anaknya lebih sibuk dengan ponsel masing-masing. Hal ini jelas berbeda dari kehidupannya sewaktu kecil, dulu orang tuanya selalu ada di rumah dan menyempatkan untuk menemaninya belajar. Walau dulu perekonomiannya sangat sulit, tetapi Wanda tidak pernah mengeluh. Dia bahagia dengan kehidupannya yang dulu, walau jauh dari teknologi.

"Nduk, bapak sama ibu memang cuma ladang kecil untuk kita makan sehari-hari. Bapak sama ibu endak punya sapi untuk dijadikan sebagai sapi perah yang bisa diambil susunya. Kita orang miskin, Nduk. Endak punya apa-apa. Tapi, bapak mau ajarin kamu hidup sederhana. Bapak yakin jika kamu besar nanti, kehidupan kamu bakal berbanding jauh dari zaman serba susah ini. Tapi, bapak mau kamu ingat bahwa bagaimana majunya zamanmu nanti, jangan pernah membuat zaman mengubah kedekatan. Kekeluargaan itu penting, jauh lebih penting daripada harta. Jadi, bapak harap kamu bisa mendidik anakmu, seperti cara bapak dan ibu mendidikmu."

Wajah Wanda berubah haru ketika mengingat perkataan bapaknya dulu. Pembicaraan itu terjadi ketika listrik padam dan dia hanya dapat menggunakan sentir agar dapat belajar. Jelas sekali Wanda tidak nyaman belajar dalam kegelapan karena hanya diterangi dengan sebuah sentir yang cahanya tidak seberapa, tetapi bapaknya memang memahami ketidaknyamanan Wanda tanpa mendengarkan keluh kesah anaknya. Dia langsung menepuk pundak Wanda dan memberikan kata-kata petuahnya.

Rasanya Wanda rindu saat seperti itu, saat keterbatasan membuatnya lebih memahami hidup. Mendiang orang tuanya memang hebat, mereka dapat menyelipkan pelajaran hidup yang selalu Wanda kenang selama hidupnya.

"Anak-anak udah tidur?" Suara berat tiba-tiba muncul dari arah belakang Wanda dan membuat wanita itu menolehkan kepalanya secara refleks.

Wanda langsung tersenyum melihat kepulangan suaminya. Dia berjalan menuju sang suami dan mencium punggung tangan laki-laki itu. "Belum, mereka masih main game."

Timbul kekecewaan dari wajah laki-laki itu ketika mendengar jawaban Wanda. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi anaknya masih bermain dengan ponsel. Laki-laki itu jadi was-was, takut besok anak-anaknya sudah dibangunkan.

"Udah minta mereka matiin HP-nya?" Wanda menggeleng cepat. "Yaudah, biar aku yang suruh mereka matiin HP. Takut besok susah dibangunin."

Wanda mengangguk. Setelah itu, Ridho—suami Wanda—menuju pintu kamar anaknya untuk menyuruh mereka tidur.

"Mas," panggil Wanda sambil berjalan ke arah suaminya. Wanda menggigit bibirnya. "Aku rindu bapak sama ibu."

Ridho langsung menatap wajah sendu Wanda dengan tatapan menguatkan. "Besok kita akan pergi ke makam mereka."

Wanda menggelengkan kepalanya. Gelengan kepala ini bukan untuk menyiratkan bahwa dia tidak mau datang ke makan orang tuanya, Wanda sangat ingin. Namun, maksud dari perkataan Wanda kali ini bukanlah karena dia ingin datang ke makam orang tuanya. Melainkan, dia merindukan sosok orang tuanya yang mengajarkannya tentang kesederhanaan.


"Besok hari libur, Mas. Aku pengin kita semua mengosongkan jadwal dan bermain dengan anak-anak."

Ridho memutar bola matanya, merasa ada yang ganjal dari perkataan Wanda. Otaknya dibuat berpikir, Wanda sangat aneh hari ini. Mengapa dia menyuruh Ridho mengosongkan jadwalnya, padahal setiap hari libur dia selalu mengajak anak-anaknya bermain bersama.

"Aku mau kita jauh dari teknologi di setiap hari libur," kata Wanda melanjutkan kalimatnya.

Ridho semakin bingung dengan Wanda. Jauh dari teknologi? Apa mereka bisa? Jauh dari teknologi adalah hal sulit karena ini adalah zaman milenial yang memosisikan teknologi sebagai barang primer yang harus dimiliki oleh semua orang.

"Kamu lagi ada masalah di kantor, ya? Ada teman kantor kamu yang membuat kamu malas lihat HP? Yaudah, enggak usah dipikirin. Besok kamu bisa main sama anak-anak dan melupakan sejenak masalahmu di kantor," ucap Ridho yang tidak begitu paham dengan apa yang Wanda inginkan.

Wanda kembali menggelengkan kepalanya, bukan itu yang dia inginkan. Dia hanya ingin sehari tanpa teknologi, menilik kembali masa lalunya ketika anak-anak tidak bersentuhan langsung dengan teknologi.

"Aku lihat kita makin jauh sama anak-anak, Mas. Kita terlalu sibuk sama rutinitas yang membuat mereka mencari dunianya sendiri. Sekalipun kita ada waktu buat mereka, anak-anak malah asyik sama gawainya. Aku cuma mikir, gimana jadinya hidup meraka kalau terus bermain sama teknologi. Aku mau mengenang ketika kita hidup tanpa teknologi seperti saat kita kecil. Apakah masih sama menyenangkannya, ya?" ucap Wanda memperjelas perkataannya.

Ridho sedikit bergeming memikirkan perkataan istrinya, bagaimana bisa Wanda berpikiran seperti itu. Hidup sehari tanpa teknologi, itu sangat sulit dilakukan. Namun, jika dipikirkan kembali, Ridho juga menginginkannya. Mungkin jauh dari teknologi akan menciptakan sensasi baru dalam kehidupan mereka.

"Memangnya kamu yakin kalau anak-anak bakal setuju jika kita meminta mereka jauh dari teknologi?" tanya Ridho kepada Wanda. Rasanya anak-anak terlalu tebiasa dengan teknologi, mereka tidak akan setuju dengan usulan ini. Bisa-bisa mereka mengancam yang tidak-tidak jika dipaksa jauh dari teknologi.

"Kita harus bilang pelan-pelan, mereka pasti mau. Ingat, Mas, kita orang tua mereka. Kita bukan orang yang harus menuruti semua mau mereka. Kita harus mengarahkan mereka kepada hal yang baik agar mereka tidak salah dalam memaknai makna hidup. Jadi, aku mohon, tolong simpan semua gawai mereka untuk besok. Ini semua agar mereka tidak terus menjauh dari kita dan mendewakan teknologi."

Wanda memberikan tatapan memohon kepada Ridho, Ridho merasa tidak tega. Bagaimanapun, maksud Wanda sangat baik. Dia ingin membuat anak-anaknya tidak begitu tergantung kepada teknologi. Ridho pun setuju akan hal itu, membiasakan anak-anaknya untuk tidak bergantung terhadap teknologi merupakan cara terbaik dalam mendidik anak.

"Oke, kita coba. Kita akan coba membiasakan satu hari tanpa teknologi," ucap Ridho yang disambut dengan senyuman dari Wanda.

Ridho dan Wanda pun sama-sama masuk ke dalam kamar anak-anak mereka, disambut dengan teriakan rindu dari sang anak. Mereka berdua hanya dapat membalasnya dengan senyum senang lalu melanjutkan langkah kakinya ke arah kasur.

Wanda diam-diam mengamati Ridho yang sedang memangku si bungsu dan mengajarkannya bermain game. Wanda menghela napasnya, Ridho seakan lupa tujuan mereka masuk ke kamar ini. Wanda mulai memutar otaknya, dia harus mengingatkan Ridho pada tujuan awalnya. Dengan hati-hati, tangan Wanda bergerak ke arah pinggang Ridho dan mencubitnya. Ridho terkaget, sementara Wanda malah memberikan tatapan tajam kepadanya.

"Sayang, ayah boleh pinjem Hp-nya?" ucap Ridho kepada dua anaknya.

Wanda menghela napas lega mendengar itu, akhirnya suaminya mengerti juga maksudnya.

Arfa dan Rana yang sedari tadi memegang ponselnya pun menurut dengan memberikan benda pintar itu kepada sang ayah. Wanda dan Ridho menurut, ternyata tidak terlalu sulit dalam melalukan rencana ini.

"Sayang, kalian mau enggak besok main permainan tradisional bareng ayah dan bunda?" Kali ini Wanda yang membuka suara. Dia mengatakan hal ini dengan penuh hati-hati, agar anaknya tidak cepat memberontak.

Sorak-sorai langsung terdengar ketika Wanda mengatakan hal itu, rupanya Arfa dan Rana sangat rindu berkumpul dengan kedua orang tuanya. Maklum saja, Wanda dan Ridho tipikal orang tua sibuk yang jarang ada di rumah. Namun, mereka selalu berusaha mencium kening anak-anaknya sewaktu pulang kerja karena tidak ingin Arfa dan Rana merasa tidak dipedulikan.

"Arfa mau, Ayan, Bunda. Ayo kita main, ayo kita jalan-jalan. Pokoknya apa pun itu asal sama ayah dan bunda," kata si sulung Arfa, dengan semangat.

"Iya, Ayah, Bunda. Rana juga mau main sama ayah dan bunda, udah lama kita enggak main bareng."

Wanda dan Ridho berpandangan, saling melemparkan tatap untuk memberitahukan Arfa dan Rana tentang rencana mereka. Tatapan Wanda lebih tajam, dari tatapan tersebut terlihat jelas jika Wanda ingin Ridho yang memberitahukan kepada anak-anak. Ridho menurut.

"Ayah sama bunda mau ajak kalian main dengan permainan tradisional yang seru, kita akan buat permainan tim di sini. Ada yang sekelompok sama ayah, ada juga yang sekelompok sama bunda. Permainan ini pasti seru karena bakal diisi sama permainan pilihan sewaktu ayah dan bunda masih kecil, kalian pasti suka. Tapi dalam permainan ini, ayah punya aturan. Di antara kita berempat, enggak boleh ada yang mainan handphone ataupun alat teknologi lain. Pokoknya kita bakal fokus main. Habis itu, ayah sama bunda akan nemenin kalian belajar. Seharian waktu ayah dan bunda akan dipake buat Arfa dan Rana," jelas Ridho kepada kedua anaknya juga istrinya.

Wanda takjub mendengar penjelasan Ridho tentang permainan ini, syukurlah Ridho sudah menyiapkan penjelasan yang tidak akan membuat anak-anak mereka membangkang. Kalau penjelasannya sekreatif ini, Wanda yakin bahwa Arfa dan Rana tidak akan menolak. Mereka pasti setuju hidup satu hari tanpa teknologi.

"Asyik 'kan permainannya, Sayang? Itu pasti lebih menyenangkan daripada main permainan online. Jadi, kita semua besok enggak bakal pegang Hp, laptop, atau apa pun itu. Kita akan main permainan tradisional dengan alat yang tradisional. Kalian mau, 'kan?" tanya Wanda sambil melemparkan senyumannya.

Arfa dan Rana tampak menimang, sesekali mereka berbisik dengam raut polos yang membuat Wanda dan Ridho was-was. Bagaimana jadinya jika mereka tidak setuju?

"Arfa sama Rana mau, Ayah, Bunda. Pokoknya kita mau main apa pun asalkan sama ayah dan bunda."

Wajah mendung Wanda dan Ridho langsung berubah cerah mendengar jawaban anak-anaknya, akhirnya rencana ini dapat terlaksana. Walau tidak yakin permainan besok akan seasyik yang ada di bayangan mereka, tetapi mereka tetap berusaha. Setidaknya dengan cara kecil ini, Wanda dan Ridho dapat mendidik anak-anaknya menjadi anak yang tidak tergantung pada teknologi.

Tepat pukul delapan pagi permainan dimulai. Baik Wanda, Ridho, Arfa, dan Rana, mereka mengikutinya dengan bahagia. Apalagi Rana, dia terus cekikikan dengan permainan yang menguras tenaga. Dimulai dari lempar sandal, engklek, lompat tali, dan petak umpet. Lalu ada satu permainan yang mengharuskan mereka menemukan jawaban atas teka-teki yang ada dan mencari bendera merah untuk memenangkannya. Semua sangat seru dan berjalan dengan cara yang tradisional.

"Ayah, Bunda, Arfa dapat bendera."

Wanda dan Ridho langsung tersenyum mendengar teriakan Arfa yang berlari sambil membawa bendera. Segera Ridho menghampiri anak sulungnya dan mengangkatnya tinggi sebagai tanda bangga kepadanya. Tawa Arfa mengudara, dia terlihat bahagia dengan permainan sederhana. Sementara Rana, dia digendong oleh Wanda. Gadis cilik itu sama bahagianya dengan kakaknya.

Rencana Wanda benar-benar berjalan seperti harapannya, hari ini mereka kembali mengulang permainan tradisional yang sering dimainkannya sewaktu kecil tanpa dicampuri dengan teknologi apa pun. Di zaman milenial ini, membiasakan diri tanpa teknologi memang penting. Namun, jangan langsung memaksa anak-anak untuk melepaskannya. Dekati mereka, beri pengertian, dan ciptakan alternatif. Mereka akan menurut dan menjalankannya dengan riang.

Fela Khoirul
Seorang gadis penuh teka-teki yang sedang berusaha menjadi lebih baik, melalui tulisannya. Memiliki ketertarikan pada skincare, mental health, dan relationship.

Related Posts

18 komentar

  1. Keren pesanya... Di rumahku juga gitu kak kalau lagi ngumpul sekeluarga, jangan harap ada yg megang hp

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhh, keren sekali Kak. Aku kalo kumpul malah masih saling main hp 🙄

      Hapus
  2. Tantangan masa depan bgt yak :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak. Menghadapi Revolusi Industri 4.0 😁

      Hapus
  3. Jadi miris kalau lihat zaman sekarang yang seperti itu mesti cerdas ortunya

    BalasHapus
  4. Setuju buanget... sesekali tanpa teknologi, membuat kita sadar kalau hidup kita penuh aneka warna...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, betul Kak. Seperti kembali pada masa dulu ya sebelum ada teknologi.

      Hapus
  5. Bagi gen millenial memang susah menceraikan tehnologi atau gawai, memang harus tarik ulur.. Joss kak tulisannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Kak. Tapi aku sendiri susah lepas dari teknologi 😁

      Hapus
  6. Jauhkanlah anak-anak kami dari godaan menjadi generasi nunduk ya Allah. Semoga mereka bisa berkembang lebih baik lagi

    BalasHapus
  7. aahh keluarga kecil bahagia. pengen eheheh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mulai ciptakan keluarga kecil yg bahagia, Kak. Insyaallah bisa.

      Hapus

Posting Komentar