Antara Jiwa dan Tulang Rusuk

Posting Komentar
Fiksi adalah jiwaku, nonfiksi adalah tulang rusukku.

Sudah sejak zaman SMA, aku gemar menulis fiksi. Menulis cerita pendek ataupun novel merupakan hal yang paling aku sukai, bahkan waktu senggangku pun selalu ingin kugunakan untuk menulis cerita. Membangun dunia baru dengan tokoh yang aku ciptakan sendiri, merupakan hal yang sangat aku sukai. Pun membayangkan bahwa takdir seseorang berada di tanganku, cukup memberikan kepuasan untukku. Bahagia atau berduka, sukses atau gagal, serta berhasil atau tidak. Semuanya aku yang tentukan dan tidak ada yang dapat memberontak.

Apalagi dengan memilih fiksi remaja sebagai aliran tulisanku, terasa sangat cocok dengan jiwa remajaku. Meski sebenarnya bukan cerita penuh cinta anak remaja yang aku tulis, tetapi tentang hidup anak remaja yang terdapat banyak kisah unik dan memotivasilah yang selalu ingin aku tunjukkan ke semua orang.

Terkadang aku merasa bosan dan ingin berhenti menulis. Namun, untunglah sebosan-bosannya aku, tetap ada perasaan rindu terhadap menulis. Kesibukan di dunia perkuliahan dan tugas yang menumpuk, tidak juga menyurutkan keinginanku untuk menulis cerita. Seruan orang sekitar jika menulis adalah hal yang tidak berguna dan hanya akan membuang waktu, tidak pernah benar-benar aku dengarkan. Hei, mereka hanya belum sadar betapa melegakannya ketika dapat menulis sebuah cerita. Mereka hanya perlu berkenalan dengan tulisan dan akan sama gilanya dalam menulis sepertiku.

Kegemaranku pada menulis pun tidak semata-mata untuk menghibur diriku sendiri. Menulis sangat berguna menurutku, terutama untuk membantuku mengerjakan tugas kuliah.

Berkuliah di jurusan Ilmu Perpustakaan adalah hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Jangankan mencintai perpustakaan, masuk perpustakaan adalah hal yang tidak aku sukai pada masa sekolah. Sebisa mungkin aku berusaha mencintai jurusan ini, tetapi mencintai sebuah jurusan yang tidak aku ketahui sebelumnya bukanlah hal yang mudah. Perlu waktu dua tahun lebih untuk menerima takdirku. Belum lagi dengan tugas-tugas yang berbasiskan perpustakaan dan informasi sering membuatku mengalami sport jantung.

Karya ilmiah yang harus dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah, tidak semudah saat aku menuliskan cerita fiksi. Pada cerita fiksi, aku bebas menulis apa pun yang aku suka. Asalkan tidak terlalu menyimpang, dapat dimaklumi. Namun, jangan harap dapat melakukan hal itu pada karya nonfiksi.

Menulis karya nonfiksi itu rumit, aku katakan pada kalian. Bagi kalian yang sering menyampaikan opini atau menulis karya nonfiksi, aku ucapkan bahwa kalian hebat. Karena sampai saat ini, aku belum berhasil menulis karya nonfiksi. Meski di setiap semester ada banyak sekali perintah menulis nonfiksi, tetapi tidak satu pun yang membuatku merasa puas dan diterima dengan baik. Jangankan merasa puas, sudah selesai saja sangat membuatku bersyukur.

Aku beri contoh ketika ada tugas untuk membuat karya tulis ilmiah. Tahu apa yang aku pikirkan? Ini adalah tugas mudah. Toh, aku terbiasa menulis. Sehari juga selesai. Ah, gila sekali memang aku karena sempat menyepelekan tugas menulis karya ilmiah. Menulis karya ilmiah ternyata tidak semudah itu, ada aturan yang harus aku lakukan. Mulai dari pembuatan latar belakang, ada gap analisis. Apa yang mendasari penelitian ini, serta apa yang seharusnya dilakukan. Lebih jauh lagi, ada tinjaan pustaka. Di sini kita harus memberikan pendapat beberapa ahli sebagai acuan penelitian. Ada pula metode penelitian yang harus dijelaskan secara detail. Lalu pada pembahasan yang masih harus terselip teori pada penelitian sebelumnya, yang bertujuan untuk membandingkan hasil penelitian ataupun menjelaskan isi penelitian.

Beda karya tulis ilmiah, beda lagi esai. Esai lebih menekankan pada pemikiran atau pandangan kita terhadap sesuatu. Terlihat lebih mudah memang, tetapi tetap saja harus memiliki acuan. Tidak mungkin kita memberi pandangan terhadap sesuatu yang belum sepenuhnya kita tahu karena dapat menimbulkan pro dan kontra.

Di antara pernyataanku di atas, seputar fiksi dan nonfiksi, aku menyimpulkan sesuatu. Keduanya memang berbeda, meski sama-sama menulis. Jika aku katakan fiksi lebih menekankan rasa, sedangkan nonfiksi adalah keadaan yang sebenarnya. Tidak sepenuhnya salah, ‘kan?

Jika ditanya mana yang kupilih, fiksi atau nonfiksi. Aku belum dapat menentukan. Fiksi sangat berguna untukku dalam mencurahkan semua yang aku rasa, sedangkan nonfiksi merupakan hal yang tidak dapat terlepas dalam hidupku. Meski setiap ketentuan dalam menulis karya nonfiksi sangat menyebalkan, tetapi aku mulai menyukainya. Setidaknya dari sekian hal menyebalkan dari tulisan nonfiksi, ingin kukatakan bahwa nonfiksi itu dapat membuat kita terlihat pintar. Ya, tentu saja. Coba bayangkan ketika ada seseorang yang sedang mencari referensi dan menemukan tulisan milik kita, apa yang dilakukannya? Pasti tetap dijadikan referensi karena menganggap apa yang kita tuliskan adalah hal yang benar, ‘kan?

Baiklah, aku sudah mencapai titik akhir. Untuk saat ini, aku memutuskan bahwa aku lebih condong kepada tulisan nonfiksi. Mengapa? Karena hanya dengan menulis nonfiksi, aku dapat terbebas dari belenggu kebahagiaan atas dunia yang aku ciptakan. Tidak  peduli seberapa indah dunia tersebut, itu hanyalah maya. Aku tidak akan mendapatkannya. Namun, dengan menulis nonfiksi, aku dapat membangun pemahamanku sendiri tentang apa yang sedang terjadi. Aku akan dibuat peduli dan paham terhadap keadaan, kemudian menuliskannya agar dapat dinikmati banyak orang. Dan aku rasa, dengan menulis nonfiksi, aku sedang berbagi kebaikan kepada banyak orang.
Fela Khoirul
Seorang gadis penuh teka-teki yang sedang berusaha menjadi lebih baik, melalui tulisannya. Memiliki ketertarikan pada skincare, mental health, dan relationship.

Related Posts

Posting Komentar