Naif

15 komentar

Langkahnya menderap, menyusuri lantai berkeramik putih gading di koridor SMA Pelita Askara. Gadis itu menunduk dalam, tak acuh dengan tirai rambut tipis kemerahan yang sedikit menghalangi pandangannya. Bisik-bisik mengudara. Lalu tawa meledak, bagai granat yang sengaja dilemparkan ke tubuh ringkihnya.

Inge Nismara Sabina atau kerap disapa Bina oleh sang ayah dan ibunda. Siswi normal yang mendambakan kehidupan SMA yang sama normalnya, tanpa drama, apalagi musuh. Namun, kenyataan justru selalu menamparnya, telak. Setiap kali tiba di sekolah, ia seolah menginjakkan kaki di arena pertempuran. Salah sedikit, risiko menggunung.

“Ssstt ... Ndoro Putri kita lewat,” seru salah seorang siswi junior yang berpapasan dengan Binaketika melewati kelas X-6. Tanpa melihat pun, Bina dapat membayangkan serendah apa tatapan yang ditujukan untuknya.

“Eh, eh, apa itu? Ada sesuatu di roknya. Ampun, deh, lebih mirip karung beras!” Beberapa teman siswi itu terbahak, sementara Bina hanya dapat menggigit bibir. Hatinya tertohok. Meski ini bukan yang pertama kali, ia tetap merasa sakit. Setiap cerca, cacian, dan perilaku busuk sangat gencar menghantuinya. Menikam setiap bilik jantungnya, membuat ia sering menyesali; Mengapa rambutnya kusut dan sulit diatur? Mengapa wajahnya standar?

Mengapa, mengapa, mengapa?

Bina melesat masuk ke salah satu kubikel toilet perempuan dengan membanting pintu. Ia membuka ritsleting, melepas rok, lalu membaliknya. Gumpalan permen karet menempel bandel di sana. Diputarnya keran air, sebelum menggosok noda itu hingga jemarinya kebas. Matanya memanas.

Ya, Tuhan, kenapa harus seperti ini?

Penampilannya boleh saja tidak semenarik murid lain. Kulit kusam, seragam longgar, wajah tanpa polesan. Namun, ia tetap manusia. Ingin punya teman, disukai banyak orang, dan bebas menyukai seseorang. Atau setidaknya, jika itu memang terlalu mewah, biarkan saja Bina sendiri. Jangan mengganggunya.

Atau mungkin bila aku belum pantas dianggap teman, ingat saja bahwa aku masih manusia. Dan tolong jangan diam, apalagi tertawa, padahal kalian tahu ada permen karet di bangku yang kududuki.

Air mengguyur dari dalam ember, menggenangi sekitar sepatu hitamnya. Kadang memercik, membasahi seragam dan celana pendek yang biasa dikenakannya sebagai lapisan dalam. Bina menyemburkan napas gusar. Digosok seberapa kuat pun, noda permen karet tetap saja menyakiti mata. Tambah merusak daya tariknya yang memang tidak pernah ada.

Bina ingin tertawa hampa.

Sebenarnya, ia bisa saja meminta rok ganti ke Ruang Osis. Namun, Bina takut dijadikan bahan lelucon karena mendadak gugup untuk berbicara. Melangkah ke sana pun terasa berat, gravitasi seolah menahannya.

Pasrah. Bina kembali mengenakan rok yang bukan hanya dihiasi permen karet lagi, tetapi basah setelah digosoknya dengan air. Gadis itu membiarkan kemejanya di luar. Syukurlah, panjang. Cukup untuk menutupi bagian yang bernoda. Ia lalu meninggalkan toilet karena pelajaran pertama segera dimulai.

“Inge Nismara!” Bu Atika tiba-tiba memanggilnya dari ruang guru. Wanita itu bergegas keluar lalu menyodorkan selembar kertas kepada Bina. “Maaf, ini memang mendadak. Tapi, setelah Ibu mengevaluasi potensi pembelajaranmu, khususnya bahasa Indonesia, Ibu jadi yakin untuk minta bantuanmu.”

Bina meraih kertas yang ditujukan padanya, ternyata sebuah formulir Pentas Seni SMA Pelita Askara akhir pekan nanti. Telapak tangannya mendadak dingin. “Mi-minta tolong apa, ya, Bu?”

“Tunggu dulu,” Bu Atika memperhatikan penampilan Bina, “Kenapa seragammu tidak dimasukkan, Inge? Itu melanggar peraturan.”

“Oh.” Bina mendeham. Ia berbalik lalu sedikit mengangkat seragamnya. Bu Atika tampak prihatin. “Ada noda, Bu. Kecerobohanku karena tidak terlalu awas dengan sekitar. Aku tidak ingin terlambat, makanya tidak sempat mengambil rok cadangan di Ruang Osis.”

Bu Atika mengangguk. Beliau mengulum senyum. “Ya sudah, kalau begitu. Ibu ingin kamu membawakan pidato yang bermanfaat saat pentas seni nanti. Itu formulir data yang harus kamu isi untuk memudahkan pembawa acara kita. Dan jangan pasang muka tidak percaya diri seperti itu, karyamu selalu bagus. Ibu hanya bisa mengandalkanmu, Inge. Berusahalah sebaik mungkin. Ibu kembali ke ruang guru dulu.”

Setelah Bu Atika pergi, Bina mematung. Diberikan kepercayaan dalam sesuatu yang ia senangi, rasanya memang menyenangkan. Namun, bagaimana jika nanti ia mengacau? Bagaimana jika hasilnya justru mengecewakan? Ia tidak terbiasa berbicara di depan banyak orang. Memikirkannya saja, tubuh Bina mulai bergetar.

Sambil berjalan, Bina menimang-nimang tema apa yang bagus untuk diangkat olehnya. Ia memasuki kelas dengan pikiran yang melanglang buana. Suasana yang semula riuh, mendadak berubah hening dan menegangkan. Bina tersadar. Puluhan pasang mata menyorotnya, seolah ia memiliki dua kepala. Namun, hanya sebentar, sebelum mereka ramai kembali, tidak mengacuhkannya yang sekadar angin lewat.

“Hari ini, aku ingin duduk bareng Zea. Kamu tidak keberatan untuk pindah, ‘kan?” Baru saja Bina ingin meletakkan tasnya di atas meja, Gita langsung datang dan menyerobot tempat duduknya.

Bina hanya dapat mengangguk. Lagi pula, Gita tampak tidak membutuhkan persetujuannya. Zea, teman sebangku Bina, juga tetap diam. Sama sekali tidak menahannya, meski ia berharap. Sedikit saja. Namun, tidak ada. Ia seharusnya tahu bahwa selama ini Zea terpaksa duduk bersamanya. Sambil menahan sakit hati, Bina terpaksa pindah ke bangku paling pojok di belakang.

“Semalam, aku nonton film. Memang sih dari laptop, bukan bioskop. Tapi, sensasinya bikin greget. Mana si cowok ganteng banget. Meleleh aku.”

“Serius, ganteng? Memangnya siapa yang main?”

“Eh, coba dong lihat fotonya di Instagram. Penasaran.”

Seperti yang sudah-sudah, Bina hanya dapat menguping ketika siswi-siswi lain asyik menggosipkan sesuatu. Ingin sekali ia ikut nimbrung, tetapi terlalu canggung dan takut salah omong. Bina tidak mau lebih dikucilkan lagi. Ia melipat lengan di atas meja lalu membaringkan kepalanya.

“Semuanya, tolong perhatian!” Suara lantang itu menarik fokus setiap orang. Evan, sang ketua kelas, berdiri membelakangi papan tulis. “Bu Ambar berhalangan hadir, jadi—”
“JAM KOSOOONG!!!”

Seisi kelas seolah berubah menjadi pemandu sorak. Kabar jam kosong selalu menjadi angin segar bagi mereka. Karena selain kantuk yang suka menerjang, mendengar guru menjelaskan materi tidak ada bedanya dengan memanggang otak mereka secara perlahan.

“Tapi kita diberi tugas, halaman 72-78. Dikumpul langsung hari ini,” sambung Evan, menyelesaikan perkataannya yang sempat terpenggal.

Teriakan yang semula berkobar pun berangsur-angsur padam, air muka mereka seketika berubah muram. Keluhan payah dilayangkan oleh beberapa murid, diikuti cicitan setuju dari murid yang lain. Dalam diam, Bina tertawa sumbang. Menyadari betapa nikmatnya tidak memiliki teman karena ia dapat membunuh waktu kesepiannya dengan mengerjakan soal-soal latihan tanpa diminta.

Inge, tugasmu sudah selesai, kan? Mana sini.” Salah seorang siswa menghampiri mejanya. “Punyaku belum.”

Bina terdiam. Dulu, ia selalu bersemangat meminjamkan semua buku tugasnya. Berharap dengan begitu, mereka akan menganggapnya seorang teman. Namun, kelamaan iktikad baik gadis itu justru dibalas dengan empedu.

“Maaf, aku bikinnya tidak maksimal. Pasti banyak yang salah,” gumamnya, sambil menunduk.

“Halah, alasan!” Siswa itu menggebrak meja. Ia mengambil ransel Bina. Membongkar isinya, mengambil sebuah buku bersampul cokelat lantas melempar kembali tas tersebut ke lantai. “Dasar cewek pelit!”

Sambil berpura-pura tuli terhadap makian tersebut, Bina memungut ranselnya kembali. Ditepuk-tepuknya setiap sisi agar terhindar dari debu yang menempel. Jantung gadis itu berdebar, kuat. Siswa tadi kini tertawa dan sibuk memanggil teman-temannya untuk menyontek tugas buatan Bina. Mereka ... tidak punya perasaan.

“Si Inge itu, pantas tidak ada yang mau jadi teman dia. Individualis, jelek, hidup pula!”

Tawa meledak. Seolah dihujam pisau, hati Bina berdarah. Air matanya ingin mendobrak keluar. Namun selalu, selalu, dan selalu ia mengingatkan dirinya bahwa ini bukan yang pertama kali. Hanya saja, mau berapa kali pun Bina memaksa untuk terbiasa, nyatanya ia tidak akan pernah bisa.

Darahnya tiba-tiba mendidih. Bina bangkit. Dengan langkah-langkah cepat, ia menghampiri meja siswa tadi lalu merampas bukunya hingga robek di bagian sampul. Seluruh pasang mata bertumpu pada gadis itu, tidak ada yang mampu membuka mulut untuk protes. Meski sebenarnya tubuh Bina bergetar karena takut, ia bergerak mengikuti insting.

Bina berlari ke taman terbengkalai di bagian belakang sekolah. Ia duduk di sebuah bangku, sambil menengadah ke arah langit yang berawan. Tetes-tetes gemuk mengalir dari kedua matanya, melintasi pipi hingga ke dagu, dan jatuh. Entah mengapa, baginya sangat sulit menemukan teman. Jika semua orang berperilaku buruk seperti mereka. Lantas, teman macam apa yang tersisa untuknya?

Ia tidak ingin punya teman yang hanya berwujud manusia, tetapi tidak bertingkah layaknya seorang manusia.

Bina tertegun. Tiba-tiba saja ia tahu, pidato seperti apa yang harus dibawakannya di pentas seni nanti.

***

“Sabina, kamu ingin ikut? Renata mau main ke rumahku. Yuk, kamu juga, nanti kuantar pulang,” ucap seseorang, membuyarkan lamunan Bina.

Menatap gadis yang duduk di sampingnya, Bina tersenyum sendu. Nimas adalah salah satu teman yang dekat dengannya ketika awal masuk perkuliahan. Setelah satu tahun berlalu, Bina mengubur seluruh pengalaman buruknya di SMA. Ia tidak ingin ada yang tahu seberapa payah seorang Inge Nismara Sabina dulu.

Sebelum masuk kuliah, Bina sempat cemas. Meski ia sedikit trauma dengan label pertemanan, gadis itu tetap saja tidak ingin sendirian. Bina tidak ingin ditindas lagi. Karenanya, meski sulit, ia selalu berusaha untuk belajar menjadi lebih baik dalam hal berkomunikasi dan menyesuaikan diri.

Usaha yang tidak mengkhianati hasil.

“Sabina, kamu dengar aku tidak? Hey, Sabina! Eh, tunggu dulu. Ini apa?” Nimas mengintip selembar kertas yang terbaring di atas meja milik Bina. Matanya memicing, membaca tinta yang mulai pudar di sana. “Naif. Berpenampilan seperti manusia itu cukup sederhana, tetapi berperilaku layaknya seorang manusia itu berbeda.”

“Oh, ini pidatoku sewaktu pentas seni di SMA.” Bina tersenyum kecil. Ia lalu mengemas alat tulis menulisnya ke dalam tas. “Temanya, Naif. Tidak sedikit orang yang dimanfaatkan dan ditindas karena keluguannya. Sub-temanya yang panjang tadi. Karena meski kita punya Hak Asasi Manusia, jika hanya hal-hal yang dianggap kasus remeh, sering sekali dipandang sebelah mata. Bahkan, pura-pura buta. Mereka disebut manusia, tetapi berperilaku selayaknya bukan manusia.”

Sejenak, Nimas merenung. Ia menatap Bina dengan sorot menerawang, sebelum mengangguk paham. “Iya juga, ya? Tumben kamu jenius. Bijak juga. Hehehe.”

Bina ikut terkekeh. Mereka pun berjalan beriringan ke halaman parkir lalu menaiki motor Nimas. Sepanjang perjalanan, meski keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, Bina merasa lega. Segala beban, khawatir, dan cemas yang menggebu di hatinya, seolah lalu terbawa angin yang menyapu lembut kulitnya.

Ketakutan gadis itu tidak terbukti benar. Karena untuk kali ini, kenyataan justru memuaskan dahaganya akan pertemanan. Bahkan bukan sekadar teman yang berperilaku pantas, Bina juga diberi kesempatan untuk memiliki sahabat yang selalu ada dalam suka maupun duka.

Bina bahagia.

“Kamu, kok, diam aja?”

“Canggung.”

Samar, Bina mendengar Nimas menggerutu, sebelum berteriak menandingi suara motor. “Kamu ini! Aku, kan, temanmu. Jadi, kamu harus nyaman sama aku. Kalau perlu, setiap hari aku culik kamu buat main sejauh ini!”

Bina tertawa. Nimas, sahabatnya, ada-ada saja. Penculikan yang direncanakan? Apa pun itu, Bina siap menghadapinya. Karena penculikan yang dimaksudkan untuknya adalah hal yang lebih menyenangkan, dibanding harus kembali jatuh dalam kegelapan tanpa teman.

Fela Khoirul
Seorang gadis penuh teka-teki yang sedang berusaha menjadi lebih baik, melalui tulisannya. Memiliki ketertarikan pada skincare, mental health, dan relationship.

Related Posts

15 komentar

  1. Kasus bullying masih marak terjadi.
    Entah apa yg merasuki para pembully

    BalasHapus
  2. Semoga selalu menulis seperti ini ya. Sangat bermanfaat🥰

    BalasHapus
  3. Ini keren bgt ka. Nice.. Suka aku baca nya

    BalasHapus
  4. Gaya bahasa dan aliran rasanya beda...suka banget...dari awal hingga akhir tulisan betah ^_^

    BalasHapus
  5. Keren ih. Cerpenku kebanyakn dialog:(

    BalasHapus
  6. Keren, sampai panjang banget juga

    BalasHapus
  7. Akhirnyaaaa, menghela nafas lega di akhir cerita.. hihi...

    Keren, Fellaaaa😚😚😚

    BalasHapus

Posting Komentar